Part 5. Curiga

81 11 24
                                    

Gerimis di luar membuat gadis yang tengah memangku laptop menoleh ke arah jendela ruang rawatnya. Hari ini, hari kedua dia di rawat di rumah sakit. Kondisinya mulai membaik meski cedera bahunya sedikit mengganggu.

Assalamu alaikum,”

Arisa mengalihkan pandangan. Senyum terulas saat mendapati sosok yang masuk dengan knit cardigan berwarna abu-abu dengan list putih hitam itu. Dua plastik berlabel salah satu restoran fast food masakan Jepang dijinjingnya.

Wa alaikum salam.”

“Nih, makan yuk.”

Sushi?”

“Un, ishouni tabemashou!¹”

“Aa! Arigatou, Ian,ucap Arisa kegirangan dengan mode moe nya.

Fabian memindahkan laptop Arisa ke meja sebelum membuka satu box bento dan sekotak norimaki sushi kesukaan Arisa. Setelah mengucap doa bersama bak anak TK yang sedang bersiap makan bersama di sekolah, Fabian dan Arisa kompak meneriakkan kalimat yang sama.

Ittadakimasu!²”

Fabian mengamati gadis di depannya yang berekspresi gembira setiap kali menyuapkan potongan sushi ke mulutnya.

“Seenak itukah?” tanya Fabian.

Arisa mengangguk. Dengan cekatan dia menyuapkan satu potong sushi miliknya pada Fabian.

“Hmm ... not bad lah.”

“Dih, ini enak banget tau!”

“Aku sering makan yang asli di sana, lebih enak lagi. Besok, aku ajak kamu ke sana.”

Mata Arisa mengerjap, gerakan rahangnya melemah, tak lagi bersemangat.

Dou?³”

Arisa menggeleng. “Ian, mama sama papamu kapan datang?”

Fabian tersedak.

“Eh pelan-pelan dong. Ditelen dulu  baru ngomong,” kata Arisa sambil menyodorkan minumannya.

Setelah tenang, Fabian menatap Arisa.

“Mereka pasti datang. Aku baru cerita soal kamu semalem. Mereka bilang nggak sabar ketemu kamu lagi. Nanti kalau mereka udah dateng, pasti langsung ke Solo kok, buat nemuin Ayah sama Bundamu.”

“Mau reuni?” gelak Arisa.

Fabian terkekeh. “Iya. Papa mau nantanagin Ayah main catur kayak biasanya.”

Tawa Arisa kembali terbit. Fabian sungguh menikmati itu.

“Cha, kata mama, dulu waktu aku kecelakaan, kamu dateng ya nengokin aku?”

Arisa yang menutup kotak bekas makannya mengangguk. Fabian membantu menyingkirkan kotak itu dan membuang di tempat sampah.

“Iya, waktu itu aku dateng. Kamu koma,” lirih Arisa.

Rautnya seketika berubah, Fabian menangkap itu.

“Icha, kok mendung lagi sih. Senyum dong. Aku kan udah sehat lagi, di sini. Nggak usah sedih gitu.”

Arisa menghembus napas panjang.

“Aku masih belum bisa berdamai dengan itu, Ian. Aku masih trauma.”

“Trauma?”

Arisa mengangguk. “Hari setelah kamu kecelakan, adalah hari dimana ketakutanku akan kehilangan seseorang yang sangat aku cintai muncul. Aku takut, Ian. Aku ... aku ... aku takut kalau harus mendengar kabar jika orang yang menjadi napas di hidupku harus meninggal.”

UNMEI (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang