Part 15. Melamar 2

53 9 27
                                    


 

Jam digital di atas meja lampu masih menunjukkan pukul tiga dini hari. Sakit kepala yang teramat membuat Fabian terbangun dari tidurnya. Keringat dingin mengucur di pelipisnya.

Astagfirullah,” desah Fabian.

Perlahan dia berusaha untuk turun dari ranjang dan mengambil gelas yang sengaja di bawanya ke kamar, seperti kebiasannya sebelum tidur. Serangan sakitnya kali ini cukup membuat buku-buku jari sang pemuda yang mencengkeram selimut memutih. Tanpa sengaja Fabian malah menjatuhkan gelas yang hampir diraihnya.

“Ian? Ian?”

Suara Arisa terdengar dari luar. Tak lama gadis itu membuka pintu dan terkejut mendapati Fabian dengan wajah pucat di tepi ranjang.

“Ian kenapa?”

“Awas Cha, jangan deket-deket. Gelasnya pecah.”

Arisa berjalan ke arah lain, mendekati Fabian.

“Kamu sakit lagi, Ian?”

Fabian tersenyum, tapi mata Arisa tak bisa ditipu.

“Kita ke rumah sakit ya?” kata Arisa.

“Nggak usah, nanti juga hilang sendiri kok. Tolong ambilin tasku, bisa?”

Arisa mengangguk dan menuruti permintaan Fabian.

“Aku ambilin minum dulu ya, sama beresin itu. Jangan turun-turun. Oke?”

Fabian mengangguk. Sejujurnya kepalanya terlalu sakit dan membuatnya sangat mual. Kadang jika sudah begitu dia sesekali membenturkan kepalanya ke tembok agar rasa sakit itu tak membuatnya gila. Namun, sekarang dia punya obat pereda nyerinya sendiri, yaitu Arisa.

Butuh waktu lima menit untuk Arisa membuatkan teh dan merapikan pecahan gelas di dekat ranjang Ayash, yang selaa tiga hari ini ditiduri Fabian.

“Sebenarnya kamu sakit apa sih?” tanya Arisa saat melihat Fabian meminum obatnya.

“Pasca kedelakaan dulu aku sempat kena fotofobia, sampai sekarang kalau kena cahaya dengan intensitas tinggi suka nyeri. Padahal kerjaanku kalau di bengkel kan tahu sendiri. Makanya waktu ditawari jadi tutor, aku mau. Aku pikir bisa alih profesi.”

Tatapan Arisa begitu dalam menatap manik Fabian.

“Dulu kamu ngapain sih sampai kecelakaan gitu? Bener waktu itu kamu mabuk?”

Fabian tersenyum. “Itu hukuman buat anak durhaka kayak aku. Aku nggak mau nurut sama papa, makanya aku ditegur kayak gitu.”

“Ian, kamu itu anak baik. Papamu aja yang terlalu keras. Nggak cuman ke kamu, ke Mas Ian juga. Om Faruk egois, suka memaksakan kehendak,” ketus Arisa.

Fabian menatap Arisa dengan pandangan menyelidik.

“Maksudmu?”

“Om Faruk itu maksa mas Ian dulu, nyuruh Mas Ian jadi pilot. Padahal mas Ian sebenernya pengen jadi ahli vulkanologi. Tapi, karena papa meninggal, jadi ya mau nggak mau mas Ian nurut waktu om Faruk nawarin beasiswa ke dia. Mama Julia kan dulu guru TK yang penghasilannya hanya cukup buat hidup sehari-hari.”

“Bang Julian cerita ke kamu?”

Arisa mengangguk. “Iya. Aku juga cerita, kalau kamu tiba-tiba nggak mau jadi pilot dengan alasan anehmu. Alesanmu nggak mau liat aku kayak mama Fara yang suka nangis kalau ditinggal terbang.”

Fabian terkekeh. “Ya memang itu alasanku.”

“Kata mas Ian ... apa bener itu artinya ... mmm ... maksudmu dulu, kamu ... mau jadiin aku istrimu?” tanya Arisa ragu-ragu.

UNMEI (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang