Part 16. Accident

49 9 21
                                    

Karanganyar 2021

Hawa dingin khas pegunungan begitu menusuk, kabut terlihat menutupi jajaran pepohonan di kawasan itu. Dari villa dan resto berkonsep gardu pandang itu , Arisa menikmati lukisan Sang Pencipta yang begitu sempurna. Beberapa monyet liar terlihat berlompatan dari pohon ke pohon.

“Sayang, kamu mau susu anget?” tanya Fabian sembari menyodorkan gelas dengan asap yang mengepul dan menguarkan aroma susu coklat itu.

“Mau. Tapi kayaknya panas banget ya?”

“Seger sih, aku tiupin dulu.”

Arisa tersenyum karena mendapat perlakuan manis dari kekasihnya.

“Maaf ya, Cha. Aku kemarin udah usul kita ke pantai aja, tapi mereka malah ngajakin ke sini. Padahal kamu nggak suka gunung,” ucap Fabian sembari menyendokkan susu coklat dan menyuapkan pada Arisa.

“Aku suka gunung, kok,” kata Arisa sebelum menerima suapan Fabian.

Fabian mencebik. “Dari dulu, Arisa Zunaira itu sukanya pantai. Karena nggak tahan dingin.”

“Iya sih, tapi gunung not bad sih. Pemandangannya bagus, terus kesannya misterius. Cantik tapi bahaya, bahaya tapi cantik.”

Fabian tiba-tiba menarik tubuh Arisa mendekat.

“Eh kenapa?” tanya Arisa bingung sembari menoleh.

Seorang pria sedang menatap ke arahnya dan seorang gadis belia tengah berpose tak jauh dari sana.

“Itu kamu ngalangin yang mau foto. Pindah yuk?” ajak Fabian sembari memberi tatapan tak bersahabat pada laki-laki bermasker yang menatap lekat pada Arisa.

Arisa mengangguk dan mengikuti Fabian yang membawanya ke salah satu sudut dimana telaga sarangan terlihat jelas di bawah sana.

“Ian, ini nyata nggak sih?”

“Apanya?” Fabian meletakkan gelasnya di atas bangku, kemudian mendekat pada Arisa yang tengah berdiri di samping pagar.

“Aku ngerasanya kayak ngimpi. Kita beneran mau nikah?”

“Iya Sayang, dua bulan lagi. Kamu bakal jadi Nyonya Azwar.”

Fabian memeluk erat tubuh Arisa dari belakang, membiarkan kepalanya melunglai di atas bahu calon istrinya.

“Eh Ian, malu ih. Jangan peluk-peluk di sini,” cicit Arisa.

“Biarin, aku takut kehilangan kamu lagi.”

“Ian, apaan sih. Jangan aneh-aneh.”

Suara tawa ibu-ibu rombongan piknik terdengar meriah saat tengah berswafoto di pinggir pagar bagian timur.

“Ian!” panggilan terdengar dari dalam resto joglo dua lantai itu.

“Tuh dipanggil Mama, sana dulu.”

“Kamu nggak naik juga?”

“Bentar aku ambil foto dulu satu, mau aku pamerin ke Faraz,” kata Arisa.

“Oke, aku naik duluan. Sekalian balikin gelas.”

Arisa mengangguk sebelum mengeluarkan kamera dari yang sedari tadi menggantung di bahunya. Fotografi bukanlah keahliannya, dia lebih suka menjadi objek foto dari pada memotret. Namun, Julian, dulu pernah mengajarinya. Kamera yang dibawanya kini pun, peninggalan Julian yang masih ia simpan dengan baik. Di dalamnya terdapat banyak gambar yang merekam kebersamaan mereka dulu.

Arisa berusaha membidik keindahan telaga yang terletak di bawah tebing tempatnya berdiri. Saat konsentrasinya penuh tertuju pada sebuah kapal di sana, suara jeritan terdengar dari rombongan ibu-ibu tadi. Tanpa Arisa sadari, pagar di depannya roboh, bersamaan dengan beberapa orang yang terjatuh. Tubuh Arisa seolah terseret turun.

UNMEI (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang