Part 4. Insiden

92 16 42
                                    

Rumah bergaya minimalis yang baru saja selesai di renovasi lima bulan lalu itu terlihat sepi. Fabian melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah dan mencari-cari keberadaan sang adik yang seharusnya ada di dalam rumah.

“Faraz!”

Bocah dua puluh tahun itu terkejut saat mendengar teriakan sang kakak.

“Apa sih Mas, berisik banget!” protesnya sembari menutup buku ditangannya.

“Kirain nggak di rumah. Ngapain kamu serius banget.”

Faraz melempar buku bersampul kulit pada sang kakak.

“Punya siapa?”

“Mama, aku nggak sengaja nemuin tadi waktu disuruh ngecek gelangnya mama yang ketinggalan di laci lemarinya.”

“Terus ngapain nggak kamu balikin?”

“Aku nggak sengaja baca terus jadi penasaran, dan sekarang aku tahu kenapa mama dulu pernah minta cerai sama papa.”

Kening si sulung mengkerut, dia segera membuka buku harian sang ibu. Faraz menunjukkan bagian yang dimaksudnya. Beberapa paragraf tertulis di sana.

[September 2020
Ini sudah tahun ketiga dan masih saja aku temukan nota bon dari toko yang sama. Sayangnya, pegawai toko lagi-lagi nggak mau kasih tau alamat tujuannya. Mas Faruk nggak pernah kasih aku bunga. Itu artinya dia punya tempat lain yang sudah disinggahinya. Tempat yang mungkin sangat indah, hingga dia harus membawa bunga untuk dipersembahkan pada cinta yang lain. Apakah dia orang yang sama dengan yang selalu di telponnya diam-diam? Haruskah aku menyerah sekarang? Setelah kami mengarungi bahtera bersama selama dua puluh sembilan tahun ini?]

[November 2020
Aku melihat mereka, wanita itu masih sangat muda dan cantik. Sayangnya aku hanya berani melihatnya dari kejauhan. Pasti dia seumuran dengan Faraz. Pantas saja Mas Faruk tergoda. Jujur aku tidak rela melihat suamiku membelai kepala wanita lain yang sepertinya sedang menangis tersedu. Aku sakit melihat tatapan penuh kasih sayang yang disorotkan Mas Faruk pada wanita itu. Haruskah aku menyerah sekarang?]

Fabian menghirup udara sebanyak mungkin dan menghembuskannya perlahan.

“Nyesek kan? Itu yang selalu disembunyiin mama dari kita. Kayaknya setelah kamu kecelakaan itu Mas, Papa ketahuan punya cewek.”

Kepala Fabian tiba-tiba berdenyut nyeri. Buku itu terlepas dari tangan si pemuda dan tangannya mencengkeram erat kedua sisi kepalanya. Rasa sakit yang sering muncul ketika dia berpikir terlalu keras, sejak kecelakaan lima tahun lalu terjadi.

Waktu itu Fabian nekat kembali ke Indonesia karena bertengkar dengan sang ayah akibat berselisih paham tentang jurusan kuliah yang diambilnya. Dia kabur dan terlibat kecelakaan yang membuatnya koma selama tiga hari.

“Mas, kambuh lagi?” tanya Faraz sembari berlari ke dapur mengambilkan air minum untuk sang kakak.

Fabian mencoba untuk mengatur napasnya dan berkali-kali menggumamkan istigfar. Faraz kembali dengan segelas air putih dan memberikan pada kakaknya.

“Mas kerjanya jangan berat-berat. Nanti kumat lagi,” kata sang adik.

Fabian meneguk habis minumannya. Sejak terbentur tembok tadi, memang sakit kepalanya sesekali datang. Dia masih penasaran, kenapa Arisa semarah itu. Apakah dia terlalu malu karena berpura-pura punya pasangan dihadapan Fabian?

“Raz, obatku habis. Anterin ke apotek bentar bisa nggak? Sekalian cari makan malam. Aku nggak berani bawa motor sendiri kalau lagi begini,” pinta Fabian.

“Oke bentar tapi aku mandi dulu.”

Sementara itu, Arisa kini masih berusaha mendatangi rumah yang sudah beberapa hari tak disinggahinya. Sepulang kerja, Arisa mencoba untuk mampir ke sana lagi, berharap Julia akan membukakakn pintu untuknya.

UNMEI (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang