Part 14. Satu Langkah

58 9 26
                                    

Solo 2021

 

Seragam kemeja biru dengan rok span hitam, menjadi busana wajib para pengajar wanita, di yayasan Dirgantara. Jilbab berwarna senada masih terlihat rapi menutup kepala wanita yang baru dua minggu mulai mengajar di sekolah dasar milik yayasan Dirgantara itu.

“Miss, ada tamu.”

Ucapan singkat kepala sekolah yang melongokkan kepala ke ruang guru yang sudah sepi karena jam pelajaran terakhir selesai sejam yang lalu, membuat Arisa segera beranjak dari kursinya.

“Siapa Bu?”

“Saya kurang tahu, tapi beliau menunggu di ruang khusus tamu. Saya pulang duluan ya Miss Arisa.”

“Baik, Bu. Terima kasih.”

Arisa segera menuju ke ruangan yang berada di dekat lobi sekolah itu. Sosok dengan kemeja semi jeans dipadu celana chinos dan sepatu canvas biru tua terlihat sibuk dengan ikan di akuarium besar yang menghiasi ruangan.

“Ian?”

Si pemilik nama menoleh. Senyum terkembang setelah memastikan jika orang yang diharapkannya benar-benar memanggilnya.

Ohisashiburi.”

“Ngapain? Kok kamu tahu aku di sini?”

Wajah datar dengan nada bicara sedikit ketus membuat pemuda itu menghembus napas panjang seolah menahan diri agar tidak terpancing.

“Ini udah waktunya pulang kan? Ayo pulang.”

“Aku ... aku udah ada yang jemput.”

“Cowokmu?” kekeh Fabian.

“Iya.”

Fabian terbahak. “Nih, cowokmu yang nyuruh aku jemput kamu,” ucap Fabian sembari menunjukkan ponselnya.

Arisa membaca pesan sang ayah untuk Fabian.

“Ayah ada acara mendadak, koleganya meninggal dan harus ke Jogja sama Bunda. Ayo buruan pulang,” ajak Fabian.

Arisa terpaksa menurutinya, karena sudah setengah jam dia menunggu jemputan memang dan belum datang juga. Pagi tadi motornya dimasukkan ke bengkel untuk diservis. Gadis itu segera mengambil tasnya dan kembali menemui Fabian.

Tak ada kata yang terlontar dari bibir keduanya saat mobil hitam itu melaju membelah jalanan.

“Cha, kami tahu tempat bakery yang punya chiffon cake enak dimana nggak?”

Arisa menoleh sedikit.

“Kenapa? Mau beli?’

“Buat mama.” Senyum Fabian tak pernah luntur. Sejujurnya pemuda itu tengah berbunga-bunga karena setelah hampir tiga minggu dia tak berjumpa dengan Arisa.

“Depan itu belok kiri,” jawab Arisa.

Fabian menurut, melajukan mobilnya ke arah yang ditunjukkan Arisa. Keduanya segera turun saat sampai di toko roti.

“Mau beli berapa?” tanya Arisa.

“Terserah sih, tapi jangan satu aja. Kamu juga suka kan?”

Arisa akhirnya menanyakan jumlah stok roti pada penjaga toko.

“Eh, Miss Risa.”

“Bu Fanny,” sapa Arisa pada senior di tempatnya bekerja yang baru.

“Wah, calonnya ya?” tanya Fanny sambil melirik ke arah Fabian.

Fabian tersenyum ramah dan menyapa, sementara Arisa mau tidak mau juga tersenyum karena butuh waktu terlalu banyak untuk menjelaskan hubungnnya dengan Fabian.

UNMEI (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang