Waktu menunjukkan pukul sepuluh tiga puluh. Arisa dengan senyum tergambar di wajah menyapa ramah pada wali murid yang tengah menjemput putra-putri mereka. Setiap pagi hingga siang, Arisa mengabdikan diri sebagai pengajar di TK Dirgantara, sedang siangnya mulai pukul satu hingga pukul setengah lima sore, di aakan menjadi tutor di lembaga, tempatnya bekerja sama dengan Fabian.
Gajinya memang tak seberapa, tetapi dia menyukai pekerjaannya itu. Berinteraksi dengan murid-muridnya, membuat hidupnya yang kelabu pasca ditinggal Julian menjadi lebih berwarna.
"Mbak Risa."
Arisa yang baru saja melambaikan tangan pada muridnya, mengubah arah tatap. Sosok pemuda dengan jaket bomber dan helm di tangannya tengah tersenyum ke arahnya.
"Eh, Faraz. Ngapain ke sini?" tanya Arisa ramah.
"Mbak udah selesai belum kerjanya? Aku mau ngomong sebentar. Boleh? Sekalian makan siang mungkin?"
Arisa terlihat berpikir sebelum mengangguk. "Oke, matte nee, aku ambil tas dulu."
Pemuda berusia dua puluh tahun itu mengangguk. Dia menunggu di salah satu bangku sembari mengamati pemandangan sekitar dan membidikkan kamera yang menggantung di lehernya.
"Mau kemana Raz?"
"Mmm ... ke Amplaz gimana? Tapi pakai motor Mbak ya, punyaku masih di bengkel. Aku tadi ke sini pake ojol."
Arisa mengangguk, dia menuruti saja apa kata pemuda yang sudah dianggapnya seperti adik sendiri itu. Setelah sampai di Mall tujuan mereka, Faraz mengajak Arisa ke salah satu resto Jepang favoritnya.
"Serius mau makan di sini?" tanya Arisa.
Faraz terkekeh. "Tenang, aku bukan brondong yang suka morotin kok. Aku yang bandar," ucap Faraz.
Arisa tertawa. "Kita makan di sana aja, yuk," ajak gadis itu.
Faraz malah mendorong bahu Arisa untuk segera melangkah masuk ke tempat incarannya. Arisa akhirnya pasrah, dia hanya duduk manis sementara Faraz memesan beberapa menu dan mengeluarkan kartunya untuk membayar semua pesanan.
"Ada apa sih, Raz? Kayaknya serius gitu?" selidik Arisa.
Pemuda itu melepas jaket dan menyampirkannya di punggung kursi kosong di sampingnya. Kemudian duduk di hadapan Arisa dan mengeluarkan sebuah buku catatan.
"Mbak, apa aku boleh nanya soal kecelakaan tunangan Mbak?"
Arisa menautkan alis, menandakan jika dia tidak begitu paham arah pembicaraan Faraz.
"Apa selama ini Mbak pernah cari informasi atau mengecek langsung lokasi ditemukannya bangkai peswat itu?"
Arisa menghela napas. Bukan perkara mudah membicarakan hal itu. Faraz mengamati perubahan mimik Arisa.
"Aku nggak pernah cari informasi apapun setelah case itu ditutup."
Pesanan mereka datang, Faraz dan Arisa mengucapkan terima kasih pada pelayan yang menyajikan berbagai hidangan yang memenuhi meja mereka itu.
"Aku penasaran soal itu, Mbak. Aku cari diberita beberapa korban dan kru selamat."
Arisa mengangguk, setetes air mata mengalir di pipinya.
"Itulah kenapa selama beberapa tahun aku masih berharap Mas Ian pulang. Meski, sampai sekarang, sudah lima tahun sejak kejadian itu, dia nggak pernah muncul."
"Mbak nggak pernah nyoba nyari kabar ke korban selamat? Misal kondisinya gimana waktu itu, atau paling nggak tim KNKT pasti punya penjelasan tentang rekaman di blackbox dan lain-lain."
KAMU SEDANG MEMBACA
UNMEI (END)
RomanceJatuh hati pada dua pria yang punya nama panggilan yang sama membuat Arisa terjerat rumitnya perasaan. "Ian pergi dan meninggalkanku begitu saja, kemudian Mas Ian datang dan menawarkan surga. Namun, aku kembali kehilangan Ian ku, dan Ian yang lain...