Hujan deras turun tiba-tiba, Arisa memutuskan untuk menepikan motornya di ruko kosong yang letaknya tak jauh dari rumah keluarga Julian.
“Ma, untung ya kita bawa payung tadi.”
“Iya, kamu memang pinter nebaknya.”
“Mama pakai ini dulu biar nggak basah, aku gendong ya.”
“Eh nggak usah.”
“Udah ayo, Mama bawain payungnya, aku yang gendong. Ya?”
Pemuda itu berjongkok, sementara wanita paruh baya di sampingnya tersenyum haru. Perlahan ia naik ke punggung pemuda yang sebelumnya memakaikan jaket parka padanya. Arisa mematung melihat interaksi dua orang yang baru keluar dari minimarket itu.
“Ian, kamu beneran nggak apa-apa? Mama berat loh.”
“Tenang Ma, aku kuat! Pegangan ya, Bismillah,” ucap si pemuda sebelum berjalan.
Suara petir menggelegar, membuat Arisa memekik dan menutup telinganya. Pemuda tadi sempat menoleh sebelum meneruskan berjalan menyeberang ke arah rumah bernomor dua puluh lima yang hanya berjarak lima puluh meter dari mini market itu.
Kilat kembali menyambar, wajah Arisa memucat. Dia paling tidak suka dengan petir. Meski tak sehisteris dulu, tapi tetap saja tubuh dara itu akan gemetaran jika sudah melihat kilat mencambuk langit dengan sinar putih yang disertai gemuruh memekakkan telinga. Gadis itu menutup telinganya dan melapalkan doa sembari menutup mata.
“Cha.”
Arisa membuka matanya, sosok yang menggendong ibu-ibu tadi kini berdiri di depanya.
“Ian.” Arisa memeluk pemuda itu erat. “Aku takut,” ucapnya.
“Wakatta. Aku antar pulang ya. Kamu tunggu di mobil dulu, aku naruh motormu di rumahku ya.”
“Rumahmu kan jauh, Ian.”
Fabian menunjuk ke arah seberang. “Aku tinggal di situ sejak papa sama mama pulang.”
“Apa? Kamu pindah ke situ? Itu kan, rumah kontrakan punya Mas Ian?”
Fabian mengangguk. “Aku beli yang sebelahnya, terus Mama Julia nawarin rumah itu juga, jadi aku ambil semua.”
“Kamu kenal sama Mama?” Kilat kembali menyambar dan tangan Fabian reflek menutup kedua telinga Arisa.
Mata mereka bertaut, gelegar suara gemuruh terdengar keras, namun tidak bagi Arisa. Fabian, melindunginya. Sekelebat bayangan masa lalu menyeruak, kala itu hujan deras dengan gemuruh petir bersautan terdengar.
“Ian! Aku takut!”
“Udah sini diem, ada aku, nggak usah takut.”
“Ian, kamu kok berani banget?”
“Aku laki-laki. Kata Papa, anak laki-laki harus bisa melindungi orang yang dia sayang.”
“Ian sayang sama aku?”
“Ssst! Diem, kalau kamu banyak bicara nanti petirnya dateng lagi.”
Sentilan di dahi membuat Arisa tersadar. “Ngelamun terus, ayo buruan. Aku udah kedinginan,” ketus Fabian sembari menarik tangan Arisa mendekat dan memayunginya, berjalan ke mobil yang terparkir di depan mini market.
Setelah memastikan Arisa aman di dalam mobil pemuda itu segera mengambil motor dan mengendarainya sembari membawa payung. Sementara itu Arisa mengamati mobil yang ditumpanginya. Aksesoris di dalam mobil itu sangat dia kenal. Mata Arisa kembali mengamati ke bagian belakang, interiornya yang diganti dengan modifikasi yang sama persis dengan mobil milik Julian.
![](https://img.wattpad.com/cover/286701916-288-k874746.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
UNMEI (END)
RomanceJatuh hati pada dua pria yang punya nama panggilan yang sama membuat Arisa terjerat rumitnya perasaan. "Ian pergi dan meninggalkanku begitu saja, kemudian Mas Ian datang dan menawarkan surga. Namun, aku kembali kehilangan Ian ku, dan Ian yang lain...