Bab 16. Berusaha Melupakan

7 2 0
                                    

Kehidupan kembali seperti semula setelah kembali dari 'honeymoon'. Vino menyibukkan diri di kantor, dan Fenita kembali menjadi istri tanpa pekerjaan yang setiap hari berkutat dengan kegiatan rumah. Kegilaan Vino terhadap pekerjaan meningkat tajam. Bahkan terkadang dia menginap di kantor. Esok paginya, ia akan meminta Mr. Khan untuk membawakan pakaian ganti dari rumah sebelum berangkat ke kantor. Apalagi yang bisa ia lakukan untuk menjauhkan pikirannya dari Bella selain bekerja? Bahkan orang-orang yang menganggap rumah adalah tempat terbaik untuk melepaskan penat, bukan menjadi pilihan Vino. Baginya, rumah adalah neraka dan tempat yang penuh siksaan.

"Berapa hari kamu tidak pulang?" Tanya Vanessa dengan ketusnya. Ia sengaja tidak memberitahukan kedatangannya dan langsung mendobrak pintu ruang kerja putranya tersebut. Vanessa tahu jika Vino beberapa hari ini tinggal di kantor. Awalnya ia mengira karena sedang sibuk bekerja, dan memang suasana perusahaan sedang ribut karena proyek baru yang bermasalah.

Tapi setelah masalah ini berhasil di atasi, Vanessa curiga karena Vino tetap saja bermalam di kantornya. Beberapa kilas balik tentang masa itu berputar di pikiran Vanessa. Ia masih mengingat dengan jelas apa yang di lakukan Vino saat wanita gila harta itu meninggalkan putranya. Vino bahkan berbulan-bulan tidak ke luar dari kantornya. Melakukan segala aktivitasnya dari dalam kantor. Itu benar-benar masa yang sangat ingin di lupakan oleh Vanessa.

"Baru lima hari, Ma." Ucap Vino dengan mulut yang penuh dengan sandwich buatan Fenita. Saat Mr. Khan membawakannya pakaian ganti ini, Fenita membuatkan sarapan untuknya yang di selipkan pada tas yang berisi pakaian dan pakaian kerja Vino. Mendengar jawaban putranya, Vanessa langsung naik pitam. Emosinya terlampiaskan dengan menjewer telinga Vino dengan kencangnya. "Aduh Ma, sakit. Aduh aduh aduh. Ampun, Ma." Sembari memegangi telinganya, Vino memohon.

"Kamu pikir kamu seorang gelandangan yang tidak mempunyai rumah? Kamu pikir kamu tidak mempunyai keluarga? Beraninya kamu meninggalkan istrimu di rumah sendirian, padahal kalian baru saja pulang dari honeymoon." Vanessa meluapkan kekesalannya. Setelah mengomeli Vino sembari menjewernya, Vanessa melepaskan telinga Vino. Di hempaskannya tubuh Vanessa di kursi terdekat.

"Vino, kamu sudah menikah. Sekarang bukan hanya ada kamu sendiri, tapi juga istrimu. Ingin di taruh di mana muka Mama jika keluarga Fenita mengetahui kelakuan kamu?"

"Ya taruh di situlah muka Mama. Lagian Fenita yatim-piatu, dia tidak mempunyai keluarga."

"Diam kamu. Sekali lagi kamu berbicara seperti itu, Mama akan mengurungmu di rumah!" Demi keamanan dirinya sendiri, Vino menutup mulutnya. Walaupun terkadang Vanessa penuh dengan ancaman kosong, tapi terkadang beliau dengan senang hati menjalankan ancamannya. Bahkan di saat yang tidak terduga.

"Fenita memang yatim-piatu, tapi dia sangat berjasa bagi keluarga kita. Kamu tahu itu?!"

"Kenapa selalu membahas itu? Apa jasa keluarga itu untuk keluarga Darren?" Vino bertanya dalam hati. Untung saja ia tidak melontarkan pemikirannya tersebut. Yang membuat Vino lebih bingung adalah, setiap kali Vanessa membahas kebaikan keluarga Fenita, beliau akan terlihat murung. Seperti hal yang membuat beliau menyesal.

"Ma, kebaikan apa yang sudah di lakukan keluarga Fenita? Kenapa setiap kali membahasnya, Mama selalu terlihat murung?" Kali ini Vino mencoba untuk bertanya.

"Itu hanya masa lalu. Yang perlu kita kenang adalah kebaikan keluarganya." Vanessa berusaha menyudahi pembicaraan ini. "Pulang ke rumah, habiskan waktu dengan istrimu."

"Sekarang!" Vino mendengus keras. Saat ia ingin menentukan apa yang ingin di lakukan, Vanessa selalu memberikan perintah yang berlainan. Di tambah lagi ia sekarang sudah dewasa, beristri pula. Umur 33 tahun sudah bisa di sebut dewasa untuk mengambil keputusan sendiri. Meski begitu, Vino tetap melaksanakan perintah Vanessa.

PERNIKAHAN PAKSA [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang