Perjalanan 11 jam yang menguras tenaga. Untungnya jarak dari bandara menuju rumah hanya memakan waktu sekitar 10 menit, dengan catatan lalu lintas yang tidak terlalu macet. Tapi itu cukup melegakan, karena hal yang paling di inginkan Fenita sekarang adalah mandi air hangat lalu tidur. Mandi air hangat. Seketika pemikirannya langsung tertuju kepada seseorang yang terpisah jarak ratusan kilometer di negeri seberang sana. Vino Aditya Pratama.
"Ah, kenapa aku memikirkan dia hanya karena memikirkan mandi air hangat?" Hal sepele namun berkesan pernah di lakukan pria itu untuk Fenita. Iya, Vino pernah menyiapkan air hangat untuk Fenita. Hal pertama dan terakhir yang menurutnya sangat bukan diri Vino. Lamunan Fenita terpecah saat mobil berhenti di sebuah rumah berlantai dua yang indah. Cat putih bersih itu berpadu dengan hijaunya rumput dan daun di sekitarnya. Membuat pemandangan ini sangat menyegarkan mata. Berbeda jauh dengan rumah yang dulu di tinggalinya dengan Vino.
"Ah, kenapa Vino lagi Vino lagi." Pikir Fenita merasa sebal. Karena meski sudah bertekad untuk melupakan suaminya, ralat mantan suaminya. Selalu saja ada kenangan yang mengingatkannya tentang sosok pria itu.
Di depan pintu, berdiri seorang pria paruh baya yang sepertinya menanti kedatangan Tuan-nya. "Selamat siang, Tuan. Senang melihat anda kembali." Ucap pria itu dengan sopan.
"Selamat siang, Brandon. Senang melihatmu sehat." Balas Fritz. "Ini Freya." Tampak bahwa pria yang di panggil Brandon itu terkejut mendengar nama yang sudah lama tidak di sebut di rumah ini terdengar lagi. Setelah berhasil menguasai dirinya, ia segera menganggukkan kepalanya.
"Selamat siang, Nona. Selamat datang kembali." Fenita hanya menganggukkan kepalanya untuk membalas sapaan pria yang di panggil Brandon oleh kakaknya.
"Ini Brandon Harris jika kamu tidak ingat." Fritz memperkenalkan, karena tampaknya Fenita sedikit bingung.
"Selamat siang juga, Sir." Akhirnya Fenita membalas sapaan itu. Tanpa banyak bicara, ketiga orang itu berlalu masuk ke dalam rumah. Dan ternyata di dalam rumah sudah berbaris dengan rapih para pelayan yang mengurusi rumah keluarga Mayer.
"Selamat siang, Tuan." Ucap mereka serempak. Fritz hanya menganggukkan kepalanya tanpa membalas salam mereka. Malah, Fritz langsung mengajak Fenita menuju ke lantai dua di mana kamarnya berada. Kamar yang di tujukan untuk menjadi kamar Fenita terlihat mewah bernuansa putih ungu. Sebuah tempat tidur besar yang di letakkan di tengah kamar, di mana di sisi kiri ruangan terdapat lemari dengan tiga pintu berlapis cermin. Di sisi kanan, terdapat jendela tinggi dengan tirai yang juga berwarna ungu.
"Dahulu kamu menyukai warna putih dan ungu, jadilah kamar ini berwarna putih dan ungu." Jelas Fritz, menjawab pertanyaan yang tidak terucapkan oleh Fenita.
"Terasa familiar."
"Istirahatlah, aku berada di kamar sebelah jika kamu membutuhkan bantuan. Atau panggil saja Brandon." Fenita menganggukkan kepalanya. Sepeninggalan kakaknya, Fenita yang kini harus membiasakan diri dengan nama Freya, mulai mengitari kamarnya. Benar-benar kamar impian yang selama ini di inginkannya. Sedikit tersembunyi, ada sebuah pintu tinggi yang menuju balkon kamar. Perlahan Fenita membuka pintu dan mendapati halaman belakang yang cantik. Kolam renang bertingkat dengan suara gemericik air mengalir membuat suasana tenang. Di tambah lagi taman dan kebun bunga yang berwarna-warni memanjakan mata dengan berbagai warnanya.
Tok! Tok! Tok!
"Permisi, Mrs. Saya membawakan pakaian untuk anda." Suara itu membuyarkan lamunan Fenita. Fenita segera mencapai pintu kamarnya dan mempersilahkan pelayan itu untuk masuk. Dengan cekatan dia memasukkan pakaian-pakaian Fenita dengan rapih. Tidak butuh waktu lama, pekerjaannya selesai karena pakaian yang di bawanya hanya sedikit.
KAMU SEDANG MEMBACA
PERNIKAHAN PAKSA [On Going]
Cerita Pendek[Update kalau moodnya bagus] Di tinggal sang kekasih di saat perasaan cintanya mencapai level 99%. Itu sangat membuat Vino kacau balau. Sudah hampir dua tahun, Bella sang kekasih pergi meninggalkannya. Lantas bagaimana kehidupan Vino ke depannya? Ap...