Bab 17. Antara Menyesal Dan Bahagia

7 2 0
                                    

Antara menyesal dan bahagia, Fenita tidak tahu harus memilih yang mana. Ia sangat bahagia karena akhirnya bisa merasakan menjadi seorang istri seutuhnya. Tapi juga menyesal karena apa yang di pikirkan Vino hanya tentang wanita itu. Bahkan dalam tidur dan mabuknya. Entah apa yang sudah di lakukan wanita itu kepada Vino, sehingga suaminya itu sulit untuk melupakan dirinya. Tidak hanya itu, Vanessa pun setengah mati membenci wanita yang bernama Bella itu.

Terkadang Fenita ingin menanyakan perihal wanita itu, tapi ia merasa bahwa itu bukan urusannya. Ya, walaupun sebenarnya itu menjadi urusannya juga, mengingat Vino sekarang adalah suaminya. Naluri seorang istri untuk menjauhkan suaminya dari wanita-wanita yang berbahaya.

Pada akhirnya Fenita hanya bisa menangis dalam diam di kamar mandi hotel. Ia sekarang hanya sendirian dalam menghadapi masalahnya. Tidak mungkin ia bercerita kepada Yura tentang masalahnya, karena menurut Fenita itu hanya akan memberi pemikiran negatif tentang pernikahan kepada Yura. Bercerita kepada Ibu atau Bu Ana? Rasanya itu lebih menyakitkan jika kedua orang tuanya itu mengetahui masalah apa yang sedang di hadapi oleh Fenita sekarang.

Setelah setengah jam berlalu, akhirnya perasaan Fenita menjadi sedikit tenang. Ia merasa lega karena telah menumpahkan segala unek-unek yang ada di hatinya. Meski itu hanya melalui tangisan tanpa suara.

Tepat pukul delapan pagi, sarapan telah siap di meja. Sandwich kesukaan Vino dan secangkir kopi.

"Vino, mari bangun. Kamu harus bekerja bukan?" Perlahan Fenita membangunkan suaminya. Tidak ada respon dari Vino. Seperti biasanya. Entah usaha yang ke berapa, Vino baru merespon Fenita yang membangunkannya. Setelah membuka matanya, Vino hanya melihat ke sekeliling ruangan dan memegangi kepalanya yang sedikit pusing karena mabuk semalam.

"Jam berapa sekarang?"

"Jam sembilan pagi." Jawab Fenita.

Dengan lesunya, Vino bangkit dari tempat tidur. Bahkan Vino tidak bereaksi saat dia berjalan dalam keadaan telanjang, tanpa sehelai benangpun yang menempel di tubuhnya. Saat menunggu Vino selesai mandi, ponsel Fenita berdering. Vanessa menelepon.

Halo, Ma. Ada apa?

Di mana Vino?

Vanessa bertanya tanpa basa-basi.

Vino sedang mandi, Ma. Ada apa?

Dia nggak pulang semalam?

Tidak, Ma. Kita menginap di hotel.

Berdua?

Nada suara Vanessa berubah. Terdengar rasa ketertarikan beliau memuncak.

Iya, Ma.

Dari ujung telepon terdengar suara pekikan bahagia dari Vanessa. Vanessa memang tidak bisa menyembunyikan apapun, terlebih saat beliau sedang merasa senang. Kadang saat tidak menyukai sesuatu pun beliau dengan jelas menampakkannya kepada orang di sekitarnya.

Baiklah-baiklah. Bilang sama Vino, dia tidak usah berangkat bekerja. Hari ini kalian puas-puaskan di hotel.

Tapi, Ma...

Sudah, bilang begitu sama Vino. Oke.

Lalu sambungan telepon terputus. Fenita masih tidak paham dengan apa yang terjadi. Tapi ia menyadari satu hal, bahwa Vino sekarang mulai mengetahui kelemahan Vanessa dan dia bisa memanfaatkan dirinya sebagai tameng. Benar-benar pria yang licik. Sayangnya, Fenita telah jatuh hati kepada pria licik itu sekarang.

Pintu kamar mandi terbuka, lalu muncullah Vino yang sudah selesai mandi. Rambutnya yang basah dan wangi sabun mandi, membuat Vino terlihat mempesona. Juga gerak-gerik Vino yang mencoba untuk mengeringkan rambutnya dengan handuk. Hampir saja Fenita terbuai dengan pemandangan yang ada di depannya.

"Sarapan siap." Fenita membawakan kopi untuk Vino, yang di anggukan oleh Vino. Setelah berpakaian rapih, Vino ke luar untuk menikmati sarapannya.

"Tadi Mama menelepon, menanyai di mana kamu berada." Fenita memulai pembicaraan.

"Begitu mengetahui kita sedang menginap di hotel, Mama bilang kamu bisa berlibur hari ini." Vino masih menikmati sandwich-nya dalam tenang, bahkan dia tidak menggubris omongan Fenita tentang Vanessa. Setelah menyelesaikan gigitan terakhirnya, Vino menatap Fenita lalu pindah ke ponselnya.

Mr. Khan, aku ada jadwal apa hari ini?

Vino memulai pembicaraan. Setelah mendengarkan dengan seksama sambungan teleponnya bersama sang asisten, Vino menganggukkan kepalanya dan segera menutup telepon. "Aku ada pekerjaan, stay di sini, nanti aku jemput. Jangan ke mana-mana." Hanya itu yang di ucapkannya kepada Fenita

• TO BE CONTINUED •

PERNIKAHAN PAKSA [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang