Waktu sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Tapi belum ada tanda-tanda kehidupan di dalam kamar nomor 1505 itu. Dan memang tidak ada yang berniat untuk membangunkan ataupun mengganggu mereka. Begitulah pesan yang di sampaikan oleh Vanessa. Semua dalam damai, sampai Fenita membuka matanya. Melihat jam di layar ponselnya, ia terkejut. Jika saja ia tidak menyadari adanya orang lain di kamar itu, tentu saja Fenita akan berteriak karena terkejut. Dengan setenang mungkin, Fenita mencoba melakukan aktivitas paginya tanpa membangunkan Vino yang masih tertidur pulas. Berganti pakaian dan mencuci wajah untuk segera berangkat bekerja.
"Ingin ke mana?" Mendengar suara itu, Fenita menghentikan langkahnya. "Saya ingin berangkat bekerja." Jawab Fenita singkat.
"Memangnya kemarin tidak mengajukan cuti?" Itu pertanyaan yang menggelikan. Pegawai kelas rendahan macam Fenita mengajukan cuti? Bisa libur seminggu sekali saja sudah bersyukur. Lagipula, ia masih harus membenahi kinerjanya yang belakangan ini menurun sesuai janjinya kepada Denis, sang manajer. "Resign saja. Jangan sampai Mama tahu kamu masih bekerja dan berakhir buruk."
Resign? Jika Fenita mengajukan resign, terus ia akan mendapatkan uang dari mana? Bagaimana dengan hidupnya? Adik-adik di panti? Memang ya, orang kaya jika berbicara suka tidak di filter terlebih dahulu. Mereka itu enak, cari uang tidak perlu banyak pikir, beda dengan dirinya yang harus bekerja keras bahkan hanya untuk makan sesuap nasi. "Tunggu, aku antar." Perintah Vino tegas, lalu berjalan menuju kamar mandi.
Fenita ingin rasanya langsung berlari meninggalkan hotel untuk langsung ke restoran. Ia yakin, sang manajer akan memberinya kuliah yang sangat mengesankan karena ia terlambat. Baru memikirkannya, ponsel Fenita berbunyi. Telepon itu dari Denis.
Fenita, di mana?
Tanya Denis dengan halus namun penuh ancaman.
Maaf, Sir. Saya masih di rumah.
Jawab Fenita.
Oh, masih di rumah? Nggak mau kerja lagi?
Fenita bingung harus menjawab apa. Di satu sisi ia ingin bekerja, tapi di sisi lain ia tidak boleh bekerja. Akhirnya ia hanya bisa meringis.
Sir, saya akan ke restoran sebentar lagi.
Hanya itu jawaban Fenita.
Begitu memikirkan mobilnya di parkiran basement, Vino berjalan memimpin. Dan Fenita dengan patuhnya mengikuti dari belakang. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut mereka. Melihat ada tamu istimewa yang datang, sang manajer tentu langsung menyambutnya. Dan betapa terkejutnya Denis saat melihat Fenita dengan tenangnya mengikuti Vino. "Mr. Vino, ada yang bisa saya bantu?" Tanya Denis dengan sopannya.
"Mulai hari ini Fenita resign. Semua urusan yang berhubungan dengan pekerjaan di cut." Ucapan Vino membuat mulut Denis ternganga. Ia tidak percaya apa yang baru saja di dengarnya. Si pengantin ini kenapa tiba-tiba datang dan berkata seperti itu? Pelayannya yang berharga di paksa untuk resign? Kali ini apa yang sudah di lakukan Fenita? Berbagai pertanyaan itu berputar di pikiran Denis.
"Sir, a–apa maksud anda?"
"Saya tidak menerima pertanyaan. Itu saja yang ingin saya sampaikan." Vino bangkit dari duduknya, lalu berjalan meninggalkan Denis yang masih belum paham. "Fenita, mari!" Suara itu menyadarkan Denis. Fenita yang namanya di panggil segera menyusul Vino dan menghilang dari pandangan Denis. Meninggalkan Denis dengan berbagai pertanyaan yang tidak terjawab.
Terlihat jelas bahwa Fenita menatap Denis seolah berkata 'maafkan saya' sembari meninggalkan Denis yang masih belum sadar dari keterkejutannya. Vino mengambil cuti untuk menikah selama tiga hari. Tapi masih tersisa dua hari sudah membuat dirinya kelimpungan.
KAMU SEDANG MEMBACA
PERNIKAHAN PAKSA [On Going]
Storie brevi[Update kalau moodnya bagus] Di tinggal sang kekasih di saat perasaan cintanya mencapai level 99%. Itu sangat membuat Vino kacau balau. Sudah hampir dua tahun, Bella sang kekasih pergi meninggalkannya. Lantas bagaimana kehidupan Vino ke depannya? Ap...