chapter 44

4.3K 644 42
                                    

#

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

#











#











#











#


















Jenia mengikuti arah terbangnya daun itu, hingga pandanganya bertemu dengan seseorang yang kini juga tengah menatapnya. Tersenyum hangat padanya, jenia mematung, dengan pupil mata bergetar.

🍁🍁🍁

Tanpa sadar Jenia berjalan mundur. matanya berkaca-kaca, Bayangan mimpi kemarin malam kembali terbayang-bayang di benaknya.  semuanya terlihat berbeda, pria itu tak menatap dingin ataupun memandangnya benci. Hanya ada senyuman hangat yang belum pernah di lihatnya.

Jenia menampar pipinya sendiri berulang kali, memastikan apakah ini nyata atau hanya sebuah mimpi belaka. Di sisi lain ia senang jika ini nyata, tetapi di sisi lain ia juga merasa takut---Takut jika pria itu akan membencinya seperti yang ada di dalam mimpinya.

Berkali-kali Jenia menampar pipinya sendiri, tetapi nihil---Hasilnya tetap sama. Rasa panas bercampur perih yang kini ia rasakan di kedua pipinya. entah kenapa ia merasa bahwa semua ini tak nyata. Bukankah pria itu harusnya lumpuh? Lantas apa ini? kedua kaki pria itu masih dapat berfungsi dengan baik.

Bukanya Jenia tak senang jika pria yang telah menyelamatkan hidupnya berkali-kali itu sehat tanpa cacat, tetapi ia hanya merasa bingung akan semua ini. Ingatkan ia untuk bertanya pada dokter istana nanti.

Jenia sama sekali tak menghiraukan  keadaan di sekitarnya, gadis itu tampak melamun memikirkan sesuatu, Membuat pria di seberang sana dengan inisiatifnya sendiri berjalan, mendekati gadis yang masih asik dengan dunianya sendiri.

“apa yang kau lakukan? Mengapa kau menampar pipimu sendiri hem?” Tanya pria itu sembari mengelus lembut pipi Jenia yang kini memerah. Entah karena bekas tamparannya sendiri atau karena menahan malu. Jenia sama sekali tak menggubris ucapan pria tampan di hadapannya ini. Jenia berusaha mencerna semuanya.

“apa ini mimpi?” Tanyanya lirih, matanya berkaca-kaca. siap menumpahkan air mata itu kapan saja.

“tidak, ini bukan mimpi. Ini nyata” jawab Efron lembut sembari mengelus sayang puncak kepala Jenia.

mendengar ucapan pria di hadapannya itu, Jenia bungkam. ia tak menyadari bahwa Efron tak lagi berbicara formal padanya. Kini mereka benar-benar layaknya teman akrab yang baru saja di pertemukan kembali setelah sekian lama berpisah.

“ma—maafkan aku…hiks…karena aku, kau jadi tertidur selama lima tahun lamanya. Karena aku kau hampir saja menjadi cacat…hiks..ak---“ tanpa berniat menunggu Jenia menyelesaikan ucapannya, Efron membawa gadis itu kedalam dekapan hangatnya.

“stt…kau tak perlu meminta maaf. Ini semua bukan salahmu, itu adalah keputusan ku. Jadi, berhentilah menyalahkan dirimu sendiri” ucap Efron sembari melepaskan pelukan nya, menatap hangat Jenia yang terus saja menyalahkan dirinya sendiri.

“Jenia, berhetilah mengatakan kata 'maaf' itu, atau aku akan benar-benar membencimu” ancam Efron datar, ia tak suka melihat gadis yang ia sayangi  terus saja meracaukan kata maaf, maaf, dan maaf.

jenia yang mendengar ucapan Efron, reflek menutup mulutnya rapat. Ia takut jika pria itu benar-benar akan membencinya.

“jika kau tak mau mendengar kata maaf dariku, maka dengarkanlah kata terima kasih ku ini” pinta Jenia setelah terdiam cukup lama. Efron yang tengah menikmati pemandangan di hadapannya kini menolehkan kepalanya, menatap bingung pada gadis mungil di sebelah nya itu.

“terima kasih untuk apa?” Tanyanya tak mengerti. Setelah lima tahun lamanya tak membuka mata, kini Efron benar-benar berubah. Pria itu kini telah mempunyai banyak ekspresi, bukan hanya ekspresi tenangnya seperti di masa lalu.

“terima kasih---terima kasih telah  membuka mata kembali. Terima kasih karena telah menjadi pria yang kuat” lanjut Jenia sembari menampilkan senyum tulus yang sangat jarang ia perlihatkan. Angin berhembus kencang, membuat rambut panjangnya berterbangan dengan indahnya, serta sinar matahari yang menerpa wajah cantiknya. Membuat Efron tertegun untuk beberapa saat.

🌺🌺🌺

Tak terasa satu minggu terlewati begitu saja. kini tampak seorang gadis cantik tengah duduk santai di atas rerumputan, tanpa beralaskan apapun. Menatap hangat pada pria yang kini tengah asik berlatih pedang.

Jenia dapat merasakan pipinya memanas, melihat perut kotak-kotak milik Efron yang terpampang jelas karena pria itu tak menggunakan pakaian atas.

“tuan putri, ini jus apel yang anda inginkan” ucap seorang pelayan perempuan yang baru saja bekerja di istana bulan menggantikan Emily yang telah mengundurkan diri--Jane namanya.

Sebenarnya cukup sulit untuk Jenia beradaptasi dengan orang baru, tetapi lain halnya dengan Jane. Gadis itu memiliki sifat yang hampir sama seperti Emily, mungkin karena mereka adalah sepupu, pikir Jenia.

“baiklah, kau boleh pergi. Terima kasih jane” ucap Jenia sembari menampilkan senyum tipisnya, membuat pelayan muda itu dengan cepat menganggukkan kepalanya semangat, kemudian pergi meninggalkan taman itu.

“Efron~! kemarilah, istirahat sejenak!” perintah Jenia sedikit berteriak, tak lupa melambai-lambaikan tangannya. Efron segera menghentikan latihan pedangnya.

Efron berjalan mendekati Jenia, kemudian mendudukkan dirinya tepat di sebelah gadis itu. menikmati hembusan angin di bahwa pohon rindang yang menyejukkan, kemudian kembali membuka matanya. menatap lekat Jenia yang juga sedang menatapnya.

"Apakah kau...ingin menjadi teman hidupku?"

Sorry ye kalo ada typonya hihi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Sorry ye kalo ada typonya hihi

PUTRI YANG DITINGGALKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang