02. Norma Yang Disepakati

298 28 3
                                    

   Ada orang-orang yang percaya bahwa paginya adalah miliknya sendiri, tanpa perlu berebut jalan dengan pengguna lain. Ai dan Dira kebetulan mereka adalah orang yang sama. Mereka adalah tipe manusia pagi yang tak pernah rela paginya harus seburuk berebut dengan kemacetan. Ai selalu berangkat ke tempat kerja dengan lari pagi, sementara Dira, pergi ke tempat kerja dengan terlebih dulu membantu suaminya menyiapkan bahan baku untuk outlet mi ayam yang kini telah membuka 3 cabang.
   Saat Ai tiba di kantor Dira sudah lebih dahulu sampai.
   “Pagi semua...” Ai menyapa beberapa orang yang sudah datang, lalu masuk ke ruangannya untuk mandi dan mengganti pakaiannya.
   “Nu, hari ini ada rapat dengan devisi digital marketing. Kamu saja yang pimpin,” perintah Ai.
   “Ok,” balas Janu. “Oh iya, ada pertemuan juga dengan donatur panti dan devisi bangunan,” lanjut Janu.
   “Kok devisi bangunan?” Tanya Ai, heran.
   “Iya, kata si tante dia nggak mau pakai firma arsitek,” jawab Janu.
   “Mama ada-ada aja, deh,” keluh Ai.
   “Iya Ai, katanya semua desain dan konstruksi dikirim dari Saudi, dari papa kamu,” jelas Janu.
   “Tapi kamu udah hubungin pemborong kita yang biasanya, kan?” Tanya Ai.
   “Aman, makanya itu kita  sudah bisa meeting sama mereka hari ini,” jawab Janu.
   “Ya udah, kalau gitu. Dira, kamu ikut sama saya. Tolong kamu pastikan siapa saja yang terkonfirmasi hadir,” pinta Ai.
   “Baik,” jawab Dira.
   Lalu keduanya pergi. Di dalam mobil Dira memberi tahu tentang orang-orang yang akan hadir, dan dari situ tidak ada nama yang Ai cari.
   “Jadi Bu Kim tidak datang?” Tanya Ai.
   “Tidak ada konfirmasi,” balas Dira.
   “Kalau begitu atur pertemuan pribadi dengannya,” Ai memerintah.
   “Harus hari ini?”
   “Iya,” jawab Ai, cepat.
   Sesampainya di tempat pertemuan Mamanya sudah datang. Seperti biasa Bu Wina memang orang yang selalu datang lebih awal dari siapa pun. Lalu beberapa anggota rapat hadir. Sebenarnya ada satu kursi yang belum terisi, dia terkonfirmasi hadir tapi telat.      Saat rapat sudah mulai seperempat jalan dia baru datang dengan tergesa. Seorang perempuan dengan tinggi kira-kira 165cm, potongan rambut sebahu yang rapi berpadu kemeja polos warna biru langit yang dipadu celana chinos berwarna khaki plus sepatu slip on kulit warna coklat. Selera berpakaian yang cukup bagus dan kekinian tapi dia datang dengan tergesa.
   “Maaf,” ucapnya, singkat.
   “Nami,” sapa Ai.
   “Iya, mbak. Dia termasuk mandor yang akan merealisasi konstruksi,” jelas Dira.
   “Tapi kontrak hasil kompetisi bukan untuk ini,” kata Ai.
   “Iya. Ini adalah pekerjaan tetap saya sebelum bergabung di KG, sementara untuk pekerjaan pahat itu, saya freelence,” jelas Nami.
   Usai rapat Dira berpamitan untuk mencoba menghubungi Kim, karena nomor ponselnya tak bisa dihubungi. Lalu satu persatu dari peserta rapat pergi.
   “Ai, ikut denganku?” Nami mengajak Ai pergi, dan lagi-lagi tanpa persetujuan dia langsung menarik tangan atasannya itu.
   “Saya bawa mobil,” kata Ai.
   “Minta seseorang mengembalikannya ke kantor,” kata Nami, tanpa beban.
Ai menurut saja hingga kemudian mereka sampai ke sebuah tempat tujuan. Sebuah tempat produksi pintu dan jendela, juga beberapa produk pajangan dari kayu.
   “Nih, lihat apa yang kubawa buat kalian?” Sapa Nami. Dan mereka semua mendekat, lalu dengan antusias mengembil nasi kotak yang Nami bungkus dari restoran tadi.
Saat memperhatikan para pekerja yang terlihat masih muda itu makan dengan lahap diiringi tawa gurau yang hangat Ai pun ikut senang.
   “Siapa mereka?” Tanya Ai.
   “Mereka tadinya anak-anak terbuang tanpa tanda penduduk,” jawab Nami.
   “Tadinya?”
   “Iya. Mereka yang barangkali kelahirannya tak diharapkan. Saya melatih dan memberi mereka pekerjaan, selanjutnya mereka bisa mendapatkan kartu kependudukan,” Nami berusaha menjelaskannya secara singkat.
   “Dengan pekerjaan kamu yang sekarang, apakah gerakan dan bisnis kamu baik-baik saja secara finansial?” Tanya Ai, tanpa basa basi.
   “Maksud kamu hutang?” Kata Nami.     “KG lebih besar, tanggungan kepada investor, gaji karyawan, piutang Bank. Masalah keuangan di KG tentu lebih besar,” lanjut Nami.
   Sambil tersenyum asam Ai berkata,   “Beraninya kamu mengatai perusahaan yang lebih besar.”
Nami juga membalasnya dengan senyuman. Lalu tak lama kemudian ponsel Ai berdering, ada panggilan masuk dari Dira, memberitahukan bahwa dia sudah mengatur lokasi kafe untuk menemui Kim. Dan Ai bergegas pergi.
   “Saya bisa mengantar,” kata Nami.
   “Tidak perlu, Dira sudah memesan ojek untukku,” kata Ai.

HILANG TANPAMU vol.02Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang