18. Melepas

154 20 16
                                    


Terima kasih sudah meluangkan waktu.
________________

Beberapa menit kemudian Ai dan Nami sampai di rumah Nami. Seperti yang Ai katakan tadi ia akan numpang salat. Karena Nami merasa bahwa ruang yang paling bersih adalah ruang kamarnya, maka ia pun meminta Ai untuk salat di sana. Ukuran kamarnya sekitar 3x3 dengan cat warna serba abu tua, dengan furnitur minimalis yang hampir seluruhnya menempel di tembok. Kasur single dengan tatakan lesehan dari kayu palet menambah kesan muda dan minimalis serta kesan sedikit maskulin, namun juga manis khas kamar perempuan dewasa yang mandiri dan dinamis.

Cukup lama Ai menghabiskan waktu untuk shalat isya beserta shalat-shalat sunnah lainnya. Seperti shalat tasbih, shalat hajat dan diteruskan dengan membaca beberapa lembar Alquran, meneruskan bacaannya selama sehari, hingga mencapai target 2 juz. Sementara itu Nami sama sekali tak masuk ke kamar, nampaknya ia memang sedang melakukan beberapa pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya sebagai pemilik sebuah usaha.

Usai dengan ibadahnya Ai mengambil ponsel yang tergeletak di meja, hendak memeriksa pesan, namun perhatiannya teralihkan pada dua obat berkemasan tablet. Ai memotretnya dan mengirimkan pada Darwis untuk menanyakan obat apakah itu?

"Yang satu adalah obat nyeri atau pusing dosis tinggi, yang satunya lagi adalah obat penenang. Itu dua-duanya harus pakai resep dokter, lo, Ai," jelas Darwis.

"Ok. Makasih," balas Ai, singkat.

Tentu saja setelah mengetahui hal itu Ai mengerti bahwa Nami tidak sedang dalam keadaan baik. Sebentar kemudian Nami masuk kamar, langsung menuju meja kerja di mana Ai juga berdiri menyembunyikan obat milik Nami. Nami bingung mencari sesuatu, dan Ai bisa menebak apa itu.

"Ini yang kamu cari?" Tanya Ai, sambil menunjukkan dua tablet obat di tangannya.

"Give it to me," pinta Nami.

Ai menarik tangannya dan menyembunyikan obat tersebut. "No. Obat ini harus pakai resep dokter. Kamu sakit apa?" Tanya Ai.

"Aku tidak punya sakit parah. Itu obat tidur biasa. Please don't be overrated," kata Nami, sedikit keras.

"Sudah berapa lama?" Tanya Ai dengan nada serius.

"Ai, apa pentingnya bagimu?" Balas Nami.

Ai menghela napas karena mulai kesal pada kengeyelan Nami. "Mulai dari malam ini. Berhentilah,"

"Ai, please do not care about me, do not worry about me. Kamu bukan siapa-siapa," Nami masih mendebat, demi mendapatkan obat itu.

"I am your reflection. Kamu pernah mengatakannya. Obat obatan ini akan menghancurkanmu berlahan," Ai masih berusaha dengan argumentasinya.

"Terus kalau aku hancur, kenapa? Toh segala sesuatu di dunia ini melepaskanku. Sepertinya aku ini hanya sampah bagi semua orang," suara Nami semakin tinggi, diiringi tangis yang tak terbendung.

Ai mencoba meraih tangan Nami untuk tujuan memberikan genggaman menenangkan, tapi di saat itu dengan cepat Nami menarik tubuh Ai ke dalam pelukan. Seorang Ai yang selalu canggung dengan pelukan itu tentu saja terkejut, tapi kerapuhan Nami membuat dirinya hanya terdiam. Setelah agak tenang Ai melepas pelukan secara berlahan.

Berdiri berhadapan, membuat mata mereka bertemu pandang. Ai sengaja tak menghindar, agar setidaknya malam ini Nami bisa tidur tanpa obat penenang.

HILANG TANPAMU vol.02Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang