Yoona
Ga tau apa yang ada di pikiran gue saat itu. Gue panik. Dan satu-satunya orang yang ada di pikiran gue adalah Chanyeol. Jadi tanpa pikir panjang gue segera telfon Chanyeol dan untungnya Chanyeol bisa dan mau bantuin gue. Bayangin gimana kalutnya gue saat itu. Belum pernah seumur hidup gue melihat papi begitu kesakitan. Apa mungkin selama ini mereka nutupin semuanya dari gue karena yang gue tau dan lihat setiap hari papi orangnya selalu sehat, segar, dan lincah ga inget umur. Ya paling keluhannya cuma batuk pilek atau badannya pegel-pegel trus minta dipijitin sama Mami.
Benar kata Chanyeol. Gue terlalu lebay dan mikir terlalu jauh. Emang sih kondisi Papi ga bisa dibilang baik-baik aja tapi ga separah yang gue pikirkan juga. Hati gue sedikit lega.
Papi dan Mami udah pulang duluan karena Papi ga mau dirawat inap, maunya istirahat di rumah aja. Sementara gue dan Chanyeol pulangnya belakangan karena harus mampir ke suatu tempat untuk beli titipan Papi yang lumayan banyak. Sekarang gue tau kenapa gue anaknya sangat ribet ya karena bapak gue juga ribet ternyata.
"Hidup itu aneh ya, Chan?" Gue berusaha memecahkan keheningan yang terjadi. Semenjak gue peluk Chanyeol di rumah sakit, gue jadi awkward. Ya gimana ya peluk-peluk mantan.
"Hm?"
"Kemarin aku ketawa-ketawa, hari ini aku nangis bombay."
"Namanya juga hidup." Ih, respon macam apa ini.
"Pokoknya aku mau kuliah baik-baik, Chan. Mau cepet lulus, terus kerja dan mandiri, terus nanti Papi bangga sama aku."
"Tiba-tiba?"
Gue spontan memukul tangan Chanyeol yang lagi nyetir. "Ih kok tanggapannya gitu?"
"Aw, sakit."
"Bukannya dukung kamu mah malah kaya ngeremehin."
"Bukan gitu, Na. Selama ini kan kamu ga pernah serius kuliahnya, selalu terpaksa. Terus ini tiba-tiba bilang gitu, wajar kan dipertanyakan?" Chanyeol ga salah sih. Gue kan ga pernah ngasi hati sedikit pun sama akademis gue. Tapi kejadian hari ini bikin gue sadar kalo gue ga boleh main-main lagi. Semoga aja ini ga keinginan sesaat gue.
"Aku ga mau nyesel Chan. Aku takut kalo nanti terjadi sesuatu sama Papi terus aku masih gini-gini aja."
"Bagus kalo kamu punya pemikiran kaya gitu." Chanyeol terlihat ragu. Wajar sih, ini kan bukan sekali dua kali gue bilang gue mau berubah. Tiap nilai semesteran gue keluar, gue juga bilang gue mau berubah lebih baik biar ga ngulang mata kuliah tapi ditengah jalan semangat gue kendor dan balik lagi ke setelan pabrik. Males dan ga peduli sama akademis.
"Bantuin.."
"Hm.."
"Beneran ini, Chan." Setidaknya niat gue beneran ada untuk masa depan yang lebih baik. Semoga eksekusinya lancar.
"Kamu cerita aja kalo butuh apa-apa nanti aku bantuin. Walaupun skripsi aku ga kelar-kelar tapi aku lebih pintar lah dari kamu."
"Sombong banget."
"Fakta hahaha. Tapi yang mata kuliahnya ada aku jadi asdos, aku ga bisa bantu. Ga boleh."
"Hehe iya. Makasiiih." Coba aja gue masih pacaran sama Chanyeol udah gue peluk lagi dia. Tapi gue harus menjaga sikap gue.
"Sama-sama, Yoona." Chanyeol juga ga pernah lagi manggil gue sayang. Tapi ga apa-apa selagi Chanyeol ga cuekin gue. Apalagi kan ini dia mau bantuin berarti kedepannya komunikasi gue sama Chanyeol akan terus berlanjut, kan?
***
Gue bingung harus bersikap seperti apa. Semenjak kejadian di rumah sakit kemarin, hubungan gue dengan Chanyeol semakin baik meskipun belum ada pembicaraan mengenai kelanjutan dan kejelasan status gue sama Chanyeol. Kata Chanyeol ya dijalani aja dulu sampai kita bener-bener siap dan yakin untuk meresmikan hubungan ini. Gila, hts-an lagi dong. Tapi Chanyeol menekankan ga boleh ada laki-laki atau perempuan lain di hidup kita masing-masing. Aneh bin ajaib. Tapi ini lebih baik sih daripada gue harus kehilangan Chanyeol atau gue harus melihat Chanyeol bersama perempuan lain. Gue ga bisa.