"Kamu kayak anak kecil."
"Ya karena aku gak suka liat kamu dinner sama lelaki gak jelas kayak gitu."
"Dia klienku. Dan lagi, buat apa kamu ngaku-ngaku sebagai suamiku, Mas? Kamu ngebuat aku kayak orang bodoh di depan Pak Jinandra."
Suho menghela napas panjang mendengar protes dari Irene tentang tindakan impulsifnya dua jam yang lalu. Dia akui itu memang salahnya ketika mengaku-ngaku sebagai suami wanita itu, tetapi haruskah Irene mengucapkan itu dengan nada penuh kekesalan yang begitu ketara? Lagipula, setelah Suho melakukan itu, Jinandra, klien Irene, malah menyambutnya dengan ramah. Mereka bahkan membahas bisnis seraya menyantap makanan setelah urusan Irene dengan pria itu selesai. Jadi, Suho tidak begitu bersalah, kan?
"Oke, aku minta maaf," ujar Suho akhirnya. Dia menegakkan tubuhnya yang duduk di single sofa ruangan hotel Irene. Jika dipikir-pikir, ada untungnya dia membuat Irene kesal karena ibu dari kedua anaknya itu langsung menyuruhnya untuk ikut masuk ke dalam kamar hotel. Bukan berarti Irene melunak padanya, hanya saja agar mereka tidak terlihat bertengkar di dalam ruang publik. Maka, di sinilah Suho akhirnya berada, menatap Irene yang berdiri di dekat jendela, menatapnya tajam tanpa mengatakan apa-apa.
"Serius, aku minta maaf," ucap Suho lagi. "Untuk semua kesalahan yang pernah aku lakukan."
Irene membuang muka. Dia terdiam sejenak, menurunkan tangannya yang sedari tadi bersedekap, lantas memandang Suho kembali. "Sebenarnya mau kamu itu, Mas?" tanyanya pelan.
"Gencatan senjata."
"Kita gak sedang berperang. Kalaupun iya, gak ada yang diperebutkan dalam peperangan ini."
"Rene."
"We are over, Mas Suho."
"But I want to start it all over again."
Tawa pahit Irene terdengar. Lirih sekali. Suho selalu mempunyai kuasa untuk mengaduk-aduk perasaannya--tidak hanya dulu tetapi juga sekarang, bahkan setelah mereka berpisah kurang lebih dua puluh tahun lamanya. "Kalau kamu ngelakuin ini karena Karina," tuturnya kemudian, "kamu jangan khawatir, Mas. Kamu masih bisa ketemu dia. Aku gak sejahat itu buat misahin ayah sama anaknya."
"Rene--"
"Kamu tau, Mas, selama kita pisah," potong Irene, "aku selalu membayangkan momen ini--momen ketika kamu datang untuk minta maaf. Tapi aku sadar, gak ada yang perlu aku maafin karena kamu gak ada salah apapun ke aku, meskipun ada waktu-waktu tertentu aku marah karena kamu udah ngusir aku kayak di kantor polisi kemarin."
Kening Suho berkerut. Dia menatap wanita di hadapannya, yang kini menerawang ke luar jendela, dengan penuh kebingungan. "Aku memang salah, Irene. Aku yang gak mau dengar penjelasan kamu waktu itu. Aku kalut. Aku takut. Kamu harus tau kalau setelah kondisi Yeri berangsur membaik, aku sadar betapa bodohnya aku karena ngusir kamu. Aku cari kamu kemana-mana, tapi kamu menghilang. Aku selama ini hidup dalam penyesalan."
Irene menggeleng. Dia tidak setuju dengan ucapan Suho. "Kalau pun kamu tau alasanku gak jemput Yeri waktu itu, aku yakin kamu bakal tetap ngusir aku, Mas. Aku menghilang dari kehidupan kalian karena perkataan kamu malam itu benar. Aku gak becus jadi seorang ibu. Tapi aku tetap kalah sama perasaanku sendiri. Aku rindu Yeri, Mas, jadi aku gak bisa nahan diri buat menjauhkan diri lagi setelah kami waktu itu bertemu."
Suho semakin dibuat terheran. Tubuhnya berdiri, bergerak mendekati Irene yang masih setia memandang kota malang di malam hari. Perlahan, sepasang tangannya berlabuh di kedua lengan satu-satunya wanita yang pernah mengisi hatinya itu. "Kalau gitu kamu jelaskan." Suho memutar tubuh Irene dengan lembut agar Irene mau melihat ke arahnya. Mata wanita mungil itu tampak memerah. "Kamu jelaskan kenapa kamu hari itu gak jemput Yeri dan gak bisa dihubungin. Buat aku mengerti."
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] Juicy
Fanfic[SELESAI] Suho dan Irene bercerai. Ada Yeri yang menjadi korban. Dan lahirlah Karina yang ikut menanggung beban. Juicy, a Surene fanfiction featuring Yeri & Karina © Jeybenedict, 2021