6. Melodi dan kisah kecil

140 25 43
                                    

Biarkan jeda bercerita,  agar celah yang membelah tak terlampau salah.




"Nah, jadi gitu, Dev."

"Jadi, lo berpikir kalo dengan lu ngeliat senyum dia doang lu langsung jatuh cinta?"

Jingga lantas berpikir panjang. Kembali ia menghadirkan senyum gadis di pantai yang sempat membuatnya hampir kepayang. Lalu beralih ke pertanyaan Devano yang menjadikannya demikian. Ditatapnya dalam netra sang sahabat sembari memikirkan pertanyaan kecil yang masih terngiang.

"Dev, gue-."





🍒🍒🍒








Gadis itu pulang dengan baju basah kuyup karena sempat terguyur hujan di perjalanan. Urung ia memasuki rumah dari pintu depan, ia menikung mengambil alih bagian belakang.

Seusai membasuh diri di kamar mandi, ia lanjut memasuki kamar, menghadapi problema atap yang selalu terulang setiap kali langit meruntuhkan badai.

Diambilnya bak besar di belakang rumah untuk menahan air agar tak membasahi kasur. Kemudian beranjak menaruh yang kedua di kamar sang ayah yang sedang rehat sepulang kerja. Melihat sang ayah yang diam-diam memijit tubuhnya sendiri di dalam kamar, dari celah pintu yang sedikit terbuka, ia menghentikan niat untuk masuk.

Netranya meneliti raut wajah si tua kesayangan, yang tak pernah sekalipun kalimat keluhan terdengar dari bibir yang keriput itu, bahkan setelah seharian mengikis tenaga, hanya untuk sepeser upah tak sepadan.

Lelaki tua itu tersenyum, Melodi menitikkan air mata.

Sepersekian detik, eksistensi sang anak yang mengintip dari pintu disadari, lelaki itu memanggil putri bungsunya untuk menaruh bak di kamar. Sebab lantainya akan semakin lembab bila dibiarkan begitu saja.

"Cepat taruh benda itu di depan nakas, ya Mel!" titahnya lembut.

Melodi sedikit terkejut karena kehadirannya diketahui, lantas ia mengikuti titah sang ayah, sembari menyeka rintikan kecil tertanggal di pipi.

"Yah, kamar abang gimana?"

"Tidak usah. Abang kamu sudah meletakkannya terlebih dahulu sebelum keluar rumah. Sudah punya firasat akan hujan katanya."

Melodi beralih mendekati sang ayah. Ia duduk di samping, membantu memijit lengan pria itu.

"Keren banget si abang. Udah kayak cenayang aja bisa prediksi datangnya hujan."

"Haha, dulu waktu dia lahir, Ibu kamu tidak sempat lagi untuk dibawa ke rumah sakit, karena bila terlambat, takutnya membahayakan mereka, alhasil ayah hanya bisa bawa dia ke dukun beranak samping rumah Pak RT. Mungkin itu sebabnya dia selalu punya firasat yang sesuai dengan apa yang terjadi."

Melodi tergelak kecil bersama cerita ayahnya. Begitupun lelah sang ayah yang terasa menguar ke udara setelah melihat tawa bahagia di bibir Melodi.

"Berarti Melodi gak lahir di dukun beranak, kan, Yah?"

Sang ayah Menggeleng.

Melodi JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang