13. Broke

166 31 33
                                    

Kalian punya Jingga kalau marah, tapi kalau Jingga mati kalian punya pelampiasan dimana lagi?



Jingga mencapai rumah dengan kondisi kelelahan berlebihan. Entahlah apa yang salah dengan raganya.

"Bunda!"

Ia memanggil sang Bunda yang tak kunjung menampakkan diri. Rumah senyap, sepertinya kosong tanpa manusia. Kakinya tertatih menaiki tangga menuju kamarnya.

Ia menutup perlahan pintu itu, lalu sontak merebahkan raga di atas pulau kapuk tanpa melepas kaos kaki. Nafasnya terhembus begitu kasar. Sesekali ekspresinya mengernyit sebab tak kunjung menghilang penyiksaan di area tulang.

"JINGGA!"

Sontak saja sarkasan dengan nada tinggi membuatnya terkejut hingga spontan mendudukkan diri. Pintunya terbuka kasar dan terbanting ke dinding menimbulkan dengungan tak nyaman. Dua kali bahunya berjengit kaget. Jingga menoleh ke arah wajah seram yang merah padam. Entah kesalahan apalagi yang memancing emosi sang Bunda.

"Kenapa, Bun?" tanyanya lemah lembut.

"Kamu narik uang di ATM Bunda, hah?! Udah berani kamu menjadi pencuri, hah?!"

"Ha? Maksud Bunda?"

Sungguh linglung wajahnya. Tentu saja kebingungan atas tuduhan yang mengatasnamakan dirinya sebagai pelaku.

"Saldo di ATM Bunda berkurang. Kamu pasti nguras isinya kan, hah?!"

"Bun, Jingga gak ngerti."

"Gak usah pura-pura polos, ya! Bunda tahu kamu nyuri karena gak dikasi uang jajan, kan?!  Hukuman kamu belum selesai ya, Jingga, mau Bunda tambah hukumannya, hah?!"

"Bun, sumpah Jingga gak ngelakuin hal yang Bunda bilang."

"Dasar anak gak bertanggung jawab! Sekarang kembalikan kartu ATM yang kamu ambil dari laci!"

"Gak ada, Bun. Jingga gak ngambil."

"MASIH BERANI BOHONG, HAH?1 BUNDA GAK PERNAH YA NGAJARIN KAMU BUAT BOHONG!"

Sontak saja wanita karir itu menarik kuping Jingga dengan keras tanpa ampun, Bahkan saat Jingga meraung minta dihentikan, wanita itu semakin menjadi.

"Bun, Jingga berani bersumpah, bukan Jingga!"

Tak ada respon, yang ada aksi pengancaman yang terus dihadiahkan.

"Kembalikan, JINGGA!"

Jingga menggeleng sejak tadi, tapi kini sang Bunda malah beralih memukul tubuhnya. Ia pergi sejenak untuk mengambil alih rotan di dapur. Lalu memvariasikan pukulan, memukul punggung Jingga tanpa belas kasih.

"Argh! Cukup, Bun! Bukan Jingga."

Lelaki itu langsung terjatuh ke lantai. Sepertinya wanita itu tak segan mematahkan tulang belulang sang anak. Hingga pengakuan yang tak seharusnya dibeberkan, terdengar, ia takkan puas.

"KEMBALIKAN ATAU TIDAK?!"

"Apa yang harus Jingga kembalikan, Jingga gak megang apa-apa?!"

"Masih gak mau ngaku? HAH?!"

Pasrah sudah. Jingga terdiam, membiarkan wanita yang sudah melahirkannya itu puas menyiksa. Percuma mengajukan alasan ratusan kali. Yang bergerak dengan kepala dan hati memanas, akan sulit terkendali.

Tulang punggungnya menunjukkan reaksi semakin memburuk. Sakitnya semakin berdenyut. Namun pukulan rotan terus saja terhempas mengenai kulit, atau bahkan sudah membuat beberapa sel kulit pecah.

Melodi JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang