Ketika yang terdekat memberi luka tanpa sekat
Jingga merintih, meraung, memberontak, sebab remuk redam yang menggulung di kepala. Teriakan tanpa suara, luka tanpa wujud. Sang Ibu yang sedari tadi menatap wajahnya yang tampak biasa saja, tidak tahu menahu isi hati sang anak yang hampir menggila dalam diamnya.
Nelsi - Bunda Jingga, sedari tadi tak berhenti memberi pukulan, tamparan pada fisik lelaki bertubuh jangkung berukuran 175 cm itu, sekaligus menusuk hatinya dengan segala macam perkataan menyakitkan yang menguar begitu saja. Seolah tak peduli dengan lawan bicara dan dampak yang kemungkinan mendera.
Jingga tak menunduk. Setiap penggal kalimat yang keluar dari mulut Nelsi, dengan baik-baik ia resapi, meski tau itu menyakiti.
"Harus berapa kali Bunda bilang, Jangan bertindak nakal di sekolah! Sering bolos kelas buat apa? Tujuan berantem itu buat apa, hah?! Latihan jadi berandal jalanan?! Atau pengen malu-maluin keluarga?"
"... Pertahankan nilai kamu! Bagaimana bisa Bunda dan Ayah membanggakan kamu di depan saudara dan kerabat kita kalau setiap tahun kamu mengalami penurunan!"
"Maaf, Bun. Bukan gitu. Jingga sering sakit di kelas. Jingga cape. Untuk masalah berantem, itu bukan Jingga yang mulai. Jingga ga salah apa-apa. Jingga cuma berusaha nolongin temen Jingga yang jadi korban bully di sekolah. Apa salah?" ungkapnya.
"Cape? Cape kamu bilang? Cape kenapa?! Kamu kerja? Kamu cari duit? Engga, kan?! Tugas kamu cuma belajar! Bukan sok-sok-an jadi pahlawan! Dapetin apa yang Bunda dan Ayah mau!"
"Dapetin apa yang Bunda sama Ayah mau, tapi ngebuang apa yang Jingga suka? Sampai kapan, Bun. Sampai kapan kalian harus ngekang gini."
"Jingga! Saya menyekolahkan kamu di tempat terbaik, bukan tanpa alasan! Lihat kakak kamu! Dia sukses karena nurutin apa yang orangtuanya mau!" tegas Nelsi.
"Itu karena kakak masih sefrekuensi, apa yang kalian harepin dari dia, kebetulan adalah hal yang juga dia suka, Bun. Gak bisa disamain dong."
"Jingga! Kamu ..."
Kali ini Jingga membuang pandangan. Entah harus dengan alasan apa lagi ia membela diri. Walaupun bukan seorang tulang punggung keluarga yang harus mencukupi kebutuhan, ia juga lelah jika terus ditekan.
Mimpi yang tak dipandang, keinginan yang tak disorot, hobi yang terpaksa ia buang, dan malah ditekan untuk memenuhi validasi serta kepuasan orang lain, membuatnya sulit menemukan jati diri.
"Boleh Jingga ke kamar, Bun? Bunda bisa lanjutin marahannya malam nanti. Untuk sekarang, kasih Jingga waktu."
Jingga membalikkan badan, hendak menuju lantai atas, tempat kamarnya berada.
"Heh, Jingga! Bunda belum selesai!"
"Pliss, Bun! Kasih waktu buat Jingga istirahat."
Jingga menatihkan langkah membawa badannya yang hampir tak memiliki tenaga.
Ia mengunci pintu kamar. Melempar tas ke sofa, lalu menghempaskan tubuh ke kasur dengan lepas.
Sekarang, baru respon dari sang Bunda yang ia dapati. Belum dari sang ayah.
Untuk reaksi Ayahnya sendiri, lelaki 17 tahun itu sudah mampu menebak. Tulang punggung keluarga itu memiliki cara yang berbeda drastis ketika emosi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melodi Jingga
Acak⚪[On Going] "Cape, Tuhan!" "... 17 tahun tinggal di dunia, tapi susah banget buat lakuin apa yang Jingga suka! Kenapa harus pandangan orang yang dipeduliin Ayah Bunda?!" "DAMN! I DESERVE DIE!" 🍒 "Kalo Ayah Bunda marah, kalian masih punya Jingga bua...