Kamuflase luka dan denting rasa.
Meneliti senar dan meniup beberapa debu yang melekat di badan gitar. Itulah kerjaan Jingga yang saat ini sedang dilanda bosan. Ia hendak berangkat sekolah sembari menetralisir sakit punggung. Keharusan untuk latihan hari ini, mewajibkannya untuk pergi menuju bangunan pendidikan yang berdiri sejak tahun 2012 belakang.
Devano sudah pergi sejak 30 menit yang lalu, Jingga kini beranjak keluar. Kakinya terpapah menuju kamar sang Ayah dan Bunda. Baru saja ingin mengetuk pintu dan memanggil nama mereka, sosok lelaki bertubuh tak kalah jangkung darinya sudah lebih dulu membuka penghalang kayu tersebut.
Tak ada senyuman ketika wajah sang bungsu terpampang di depan. Ia memalingkan wajah dan berjalan lurus, melewati tanpa basa-basi.
Niat Jingga yang hendak minta diantarkan ke sekolah sebab ia tak yakin bila membawa motor sendiri, terkurung dan tenggelam setelah melihat respon sang Ayah di awal tatapan. Menghela nafas, pasrah. Dalam kekuatan yang tak terjamah indera mana saja, ia menegarkan dan mengubah keputusan. Diputuskannya untuk pergi sendiri, membawa motor. Bila terjadi sesuatu nanti, jangan salahkan siapa-siapa.
"Kenapa berdiri di sana?! Mau uang jajan? Inget ya, Jingga, hukuman kamu belum selesai!" ketus Nelsi saat melihat sosok sang anak di ambang pintu.
Jingga menarik bibir, membentuk lengkungan paksa, lalu menggeleng.
"Enggak, Bun. Cuma mau bilang, Jingga berangkat sekolah dulu, ya. Nanti sarapan di sekolah."
Usai mengucap kalimat sederhana yang sedikit menanggal jejak luka, ia menutup pintu kamar orangtua dengan pelan. Kemudian beranjak menuju pintu utama.
Ditempuhnya tempat parkir lalu mengeluarkan motor matic yang lebih ringan untuk dibawa ketimbang jenis sport. Ia melaju tanpa cium tangan kedua orangtua, hanya pamit singkat yang sama sekali tak merekat.
Tangannya memutar pacuan gas dengan ligat. Mendorong dua roda depan dan belakang untuk melaju cekat. Menembus angin yang bahkan melawan arah pergerakan jauh lebih cepat.
Awalnya baik, mulus tanpa hambatan yang mencegat. Kemudian, saat di tikungan, berdekatan dengan perempatan, seorang wanita yang tengah bersepeda mengacaukan fokus. Jingga terlalu menerobos dekat dengan tapak pejalan kaki. Ia melaksanakan rem dadakan, sedikit terpeleset di depan pesepeda yang tadinya membuyarkan segalanya. Tak jauh berbeda dengan Jingga, si wanita yang tengah mengayuh sepeda pun mengadakan rem dadakan, sebab kaget dan hampir saja terjatuh kalau saja sang kaki telat menahan beban.
Jingga melepas helm, sering sekali kejadian seperti ini menimpa dirinya. Ia memandangi wanita yang tengah memerhatikan keranjang depan sepeda yang berisi box kue, menjaganya tetap aman.
Matanya beralih menelusuri penampilan, tampaknya anak SMA. Beralih lagi ke puncak bagian wajah, matanya membola sebab terkejut. Gadis itu, yang sering membuatnya penasaran, yang beberapa hari terakhir sering disatukan takdir atas alasan pertemuan, entah tersengeja atau tak terduga.
Ia memasang penyanggah kendaraan yang dibawa, kemudian melangkah deras menuju Melodi.
"Melodi, lu gak apa-apa?"
Mendengar namanya terlontar oleh suara yang sedikit tak asing, netranya terundang melirik, lalu menyaksikan dengan sangat jelas wajah lelaki tampan dengan kulit salju di hadapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melodi Jingga
Random⚪[On Going] "Cape, Tuhan!" "... 17 tahun tinggal di dunia, tapi susah banget buat lakuin apa yang Jingga suka! Kenapa harus pandangan orang yang dipeduliin Ayah Bunda?!" "DAMN! I DESERVE DIE!" 🍒 "Kalo Ayah Bunda marah, kalian masih punya Jingga bua...