Perpaduan melodi-melodi yang sarkas, lugas, beradaptasi menjadi kesatuan yang membekas. Seperti kamu yang pandai melekat menulusuri dan memenuhi kalkulasi otak.
Jaring pertahanan diruntuhkan seketika. Tadinya membeku, sekarang luluh sesaat. Jingga menggila memaksa Melodi. Membuat wanita itu mengalah pada keras kepala yang menjelma sejak lama. Melodi tak mampu melepas cekalan tangan dari Jingga. Ia juga malas berdebat panjang dengan lelaki yang kini menuntunnya entah kemana. Sedari tadi ia berdecak meski Jingga tak peduli.
"Nah udah sampe!"
Melodi menatap pintu ruangan berukir note musik, chord lagu juga menyerupai alat musik seperti gitar, dan biola. Di atasnya, dipasang papan besar panjang bertulis 'Ruang Seni Musik.' Dipastikan itu adalah tempat ekskul para anak musik. Saat pintunya terbuka, hampir saja Melodi terpana sebab isi dalamnya yang terbilang lengkap.
"Ayo!" ajak Jingga. Ia menarik tangan Melodi bahkan tanpa meminta izin kepada sang pemilik jemari.
Melodi melepas cekalan di detik selanjutnya. Matanya mengitari sejagat ruangan. Memang benar Melodi itu jarang berkeliaran di sekitar sekolah. Ini bahkan menjadi momen pertama penginjakkan kaki di ruang seni musik.
"Gimana? gua yakin selama tiga tahun di sekolah ini, lu gak pernah kan main ke sini?" ledek Jingga. Senyum kecil terukir pada penatapan gadis di hadapan.
Melodi melirik tajam. Itu cara merespon yang familiar baginya. Tanpa kata, biar ekspresi yang bersuara.
Sekali lagi Jingga tersenyum. Benar-benar gadis yang dingin pikirnya.
"Lu mau gua mainin apa?" tanya Jingga.
"Gua paling jago main gitar. Tapi alat musik lain kayak piano, biola, drum, drumbox, dan alat lain gua juga bisa tapi cuma basic doang," lanjutnya.
Jingga menatap penuh pengharapan. Perlahan kagum, tumbuh sesuatu yang tak biasa, terlebih ketika Melodi tiba-tiba tersenyum saat melihat gitar warna cream di pojokan sebab terkesan.
Jingga menekan dada sebab detakannya melaju cepat. Hatinya berirama bak menjelma kupu-kupu di dalam sana. Netranya pun tak kalah berbinar seperti habis menaklukkan bintang di langit tujuh bergejolak hingga surya.
"What the fu*k just happened with my heart!"
Menyadari arah pandangan Melodi, ia menyadari bahwa itu yang harus ia mainkan. Segera ia menarik tangan Melodi lagi untuk pergi ke pojokan. Namun, terjadi penolakan kali ini.
"Lepas! gua mau balik kelas!"
Baru saja berbalik, ia dihadang dari depan.
"Eh, jangan dong! Udah dateng ke sini, harus dengerin gua mainin satu lagu dulu," bujuk Jingga.
"Gak penting!"
Jingga tak memberi celah agar Melodi bisa kabur. Entah dengan alasan apa ia seantusias itu untuk mencegat Melodi. Benar-benar aneh.
"Eits! Ayolah! Kelas lu belum ada pembelajaran juga. Guru masih rapat semua."
Lagi-lagi Melodi menyorot ganas.
"Hey, ayolah! Gak bakal telat. Guru masih lama rapatnya."
Melodi terdiam. Menunggu waktu agar Jingga beralih menjadi penghalang. Tapi nihil terlakukan. Yang ada, Jingga malah menarik tangan Melodi lagi menuju pojokan ruangan. Lelaki itu meraih kursi dudukan yang terbuat dari jati berkualitas tinggi, menaruhnya di depan gadis yang terdiam dan bingung. Ditepuknya puncak kursi, mengisyaratkan "duduk!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Melodi Jingga
Random⚪[On Going] "Cape, Tuhan!" "... 17 tahun tinggal di dunia, tapi susah banget buat lakuin apa yang Jingga suka! Kenapa harus pandangan orang yang dipeduliin Ayah Bunda?!" "DAMN! I DESERVE DIE!" 🍒 "Kalo Ayah Bunda marah, kalian masih punya Jingga bua...