17. Start to Compete hard

104 18 27
                                    

Senyum yang pertama kali tertangkap mata, merambah hingga hati kecil dan perasaan ikut bersuara.





Selepas ini lihatlah senyum sinisnya melebar seakan merasa tak tertandingi oleh siapa saja. Seorang Rafael Mahardia, merasa dirinya sebagai sekte tertinggi di sekolah ini, tak menyadari dirinya yang bahkan harus menentp setahun lebih lama dari tean-teman sejalannya karena tak pernah memerhatikan attitude dan setiap langkah yang diambil.

"Udah gue bilang, gak usah berani ngelawan gua. Gua emang jelek di akademi, tapi di kompetisi ini cuma gue yang berhak ambil alih," sarkasnya, tak menatap pada manusia yang tujuan kalimat terlontar, namun jelas sekali kalimat itu ditujukam pada saingan-saingan yang juga ikut seleksi, terutama Jingga yang dari skilll fingerstyle-nya cukup mampu membuat Rafa sedikit goyah.

Para siswa-siswi lain yang ikut berseleksi diam saja, mereka tahu kekuasaan Rafa di sekolah ini seperti apa.

"Seleksi hari ini selesai, untuk pertemuan selanjutnya, sillakan tingkatkan skill, genre musik   yang harus kalian pelajari akan saya share di grup whatsapp." Sang pelatih beranjak pergi meninggalkan murid lainnya di ruangan musik.

Rafa dengan segala keangkuhannya melirik sinis siswa lain, benar-benar dengan pandangan remeh. Kemudian beralih pada Jingga yang justru membalas tatapan nanarnya dengan sebuah senyum kecil, alis terangkat sebelah kiri, begitupun bahunya yang pengangkatnnya seirama dengan alis. Jingga tak takut, juga tak menantang balik.

"Cih!" Rafa semakin tak suka.

Ia beranjak keluar, mennutup pintu denga arogan.

Jingga menyimpan capo gitar pada laci penyimpanan alat-alat, kemudian menaruh gitar pada tempatnya.  Selepas berbincang ria dengan siswa lainnya, ia beranjak dari sana, dengan perut lapar membuana.






















🍒🍒🍒


























Mereka singgah di sebuah rumah makan bernuansa Jepang. Susunan kayu berbalok-balok, beberapa persegi panjang, terpakai menjadi lantai bangunan. Warna cokelat alami dari kayu dibaluri dengan plitur yang memberi filter glow pada tiap bagian. Tak ada kursi tersedia,  melainkan pengunjung dapat duduk di lantai yang lebih menonjol ke atas di tiap pembatas untuk mencicipi hidangan. Kolam ikan emas menjadi penambah keestetikan rumah makan ini.

Jingga dan Devano memesan makanan yang sesuai dengan porsi yang mereka inginkan. Sembari menunggu para chef bergulat dengan spatula untuk meracik bumbu terbaik. perbincangan terjadi di antara kedua sahabat itu.

"Dev, lu tau gak rumah si Melodi dimana?" tanya Jingga.

"Melodi? Yang kelas MIPA?"

Jingga mengangguk.

"Tau."

Jingga berbinar.

"Kasi alamatnya ke gua."

"Buat apa?"

"Ada lah, buru!"

Jingga mencatat di gawainya alamat Melodi yang diberi oleh Devano.

Mereka mengunyah makanan hingga ludes tak bersisa. Jingga pulang ke rumah dengan diantar oleh sang sahabat sembari menenteng satu kertas makanan yang ia beli lebih sewaktu di rumah makan.

Melodi JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang