Seorang manusia yang sudah runtuh pun masih mencari cara untuk bangkit
Usai sudah Meggy melanglang menatap sang Ayah dengan raut garang mirip sang Bunda.
Ia beralih pada lelaki malang korban kesalahpahaman. Bahkan saat Meggy mencoba membantu Jingga agar berdiri, sang adik malah meraung, merengek seperti lelaki kecil yang jatuh dari sepeda"Jingga, ayo! Pelan-pelan aja. "
Jingga menggeleng hinggga membuat rambutnya tergerai kemana-mana.
"S-sakit!" lirihnya. Suara serak atas pertahanan dari penyerangan yang semakin membuana menerkam fisik, terdengar sangat menyakitkan.
Meggy melirik tajam pada sang Ayah, mempertanyakan perlakuan kejam seperti apa lagi yang dilampiaskan pada manusia yang tak ada kaitannya.
"Ayah, bisa gak, gak usah siksa Jingga cuma gara-gara dia gak bisa capai apa yang kalian mau? Dia manusia, Yah!"
"Dia penyebab Bunda kamu semakin marah sama Ayah! Dia pantas untuk itu! "
"Penyebab?"
Meggy menatap ragu pada sang Ayah, lalu beralih menuju Jingga. Kepala Jingga tergeleng pelan menandakan ia menyatakan penolakan. Dari awal, kesalahan sang Ayah memang sama sekali tak ada hubungan dengannya. Entahlah bagaimana ego bertindak di tengah kacaunya pemikiran sang Ayah hingga mampu menyalahkan pihak lain.
"Gak seharunya Ayah lampiasin kemarahan ke Jingga. Meggy tahu, Yah, dari dulu kalian selalu seperti ini! Dulu karena perihal Bunda jalan bareng saudaranya sendiri, dan Ayah ngira itu selingkuhannya, Ayah juga lampiasin kemarahan itu ke Jingga. Lalu, saat Meggy gak sengaja jatoh gara-gara ngajarin Jingga naik sepeda, Jingga juga Ayah hukum waktu itu!"
Penjelasan itu adalah rekam jejak yang masih tertanam dalam memori Meggy. Ia teringat betul bagaimana tempramen sang Ayah. Mengetahuu ada ketidakadilan dalam perlakuan itu. Meggy mengakui bahwa dirinya sudah berprestasi sejak kecil, dan tak pernah mengalami penurunan. Berbeda dengan Jingga yang tidak stabil. Tapi, itu bukan berarti hanya Meggy yang berhak diprioritaskan. Itu konsep yang tak sepadan,
"Ayah ngerasa sepadan dengan itu semua? Sebenarnya Jingga anak Ayah apa bukan, sih? hah!"
Sang Ayah menatap sinis. Ia memang tak bersuara, tapi gemuruh membuana di dada, menandakan kemarahan terpendam di sana.
"Plis, Yah, lepasin hukuman Jingga. Gak mungkin dong Ayah maksa seorang anak pada satu prestasi sedangkan anak itu punya keahlian di bidang lain?"
Sang Ayah bahkan tak bersuara. Otaknya semakin meracau kemana-mana. Ia mulai melangkah selangkah mendekati Meggy. Jingga mulai mengangkat kepala saat pergerakan kaki terbungkus pantofel itu terdeteksi.
"Berani lalai, berani nerima sanksi! Dari dulu Ayah sudah menekankan kepada kalian untuk menjaga kenaikan prestasi. Ini sudah jadi ketetapan Ayah, dan hukumannya akan dicabut sesuai waktu!" Suaranya lembut, namun sarkasan tetap terlintas.
Novan menjauh dari pijakan Meggy, ia hendak beralih menuju kamar berniat membujuk Nelsi. Akan tetapi, Meggy tak bisa tinggal diam, kakinya tergerak ingin menyusul, tapi ...
"Sudah, Kak! Jingga gak apa-apa!" Kakinya tercekat dari belakang, direngkam erat oleh sang adik.
Terlihat mata sendu tersirat di balik pupilnya yang berbinar. Senyum di wajah Jingga tak lain adalah kepalsuan nyata yang ditata rapi sedimikian rupa agar tak terlalu kentara kebohongannya.
"It"s okay! Kamu gak bisa diginiin terus, Jingga! Kakak bakalan ngomong ke Ayah."
Dua pemberontakkan sempat terjadi. Jingga yang tak mau melepas cengramannya, dan Meggy yang berusaha meyakinkan Jingga bahwa semua akan baik-baik saja. Walau pada akhirnya, Meggy juga yang memenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melodi Jingga
Casuale⚪[On Going] "Cape, Tuhan!" "... 17 tahun tinggal di dunia, tapi susah banget buat lakuin apa yang Jingga suka! Kenapa harus pandangan orang yang dipeduliin Ayah Bunda?!" "DAMN! I DESERVE DIE!" 🍒 "Kalo Ayah Bunda marah, kalian masih punya Jingga bua...