Mereka ingin aku selamat, tapi mereka tak menyuguhiku obat.
Jingga tiada henti berbahagia. Ia hampir tak mampu tertidur. Pertama kali naik angkot, pengalaman baru yang terjadi karena usahanya mendekat kepada Melodi. Entahlah untuk selanjutnya ia akan menyukai itu atau tidak, selagi bersama Melodi, hal apapun membuatnya mampu terbang tinggi sejauh-jauhnya.
🍒🍒🍒
Kendati dua hari lagi yang seharusnya menjadi jadwal dan janji Jingga untuk melakukan pemeriksaan yang lebih serius, Meggy sudah bersiap untuk kembali ke rumah. Meski masih dua hari, ia ingin memastikan bahwa Jingga sudah mempersiapkan diri.
Saat sampai, ia bahkan tak melihat tunggangan sport kesayangan adiknya itu berada di parkiran. Sudah dipastikan, anak itu sedang nongkrong atau melakukan hal lain.
Jam 8 malam, langit sudah dihinggapi oleh pasukan kunang-kunang langit. Daun manggis meliuk-liuk, beberapa saudara mereka menjatuhkan pertahanan, memilih memeluk bumi ketimbang bertengger setia bersama ribuan daun lainnya. Getaran notasi gantung yang berkoar indah di tangan ahli seorang Jingga turut mampu membuat damai para kelelawar yang tengah berselisisih dan menyeleksi keanggotaan pencari makan.
Tak terhitung lagi jumlah kalimat kebencian kedua orangtuanya atas ketidakpuasan mereka terhadap pencapaian anak bungsu yang satu ini. Siang tadi, Jingga mendapati ocehan yang sama. Lagi, ia hanya mampu membeku, menitikkan diri pada kesalahan terbesar dalam hidupnya. Memilih untuk terlahir.
Sederhana saja, ia tidak pernah melontar balasan, ia tidak pernah meninggikan nada melakukan pembentakkan. Sederhana saja, ia masih menyayangi kedua manusia yang begitu penting di hidupnya itu. Meski rasa cinta itu sesekali menyakitinya.
Di batu-batu yang ia istimewakan sebab menjadi titik pertemuan, menjadi tempatnya menyembuhkan luka. Seorang diri, menjadi sahabat malam dan lengkungan ombak. Menapaki jiwa pada jutaan kesakitan yang dari dulu sampai sekarang ia rasakan.
"Ya Allah, kasih Jingga otak yang pinter kayak Albert Einstein yah, biar bisa jadi kesayangan Bunda sama Ayah."
Ia bergumam sendiri, seolah menjadikan bebatuan karang itu sebagai teman komunikasi. Jeansnya sudah terlanjur basah sebab terhempas gelombang pasang. Gitarnnya pun terkena percikan.
Setelah dirasa cukup menenangkan diri, membiarkan beberapa tetes air mata melaju kerena getir, menawan isak untuk bersaing dengan ombak, memberi kesempatan agar rasa sakit yang tertabung dalam hatinya menyayat-nyayat saat itu juga. Ia beranjak pergi. Lagian sudah satu jam ia berada di sana.
08.15
Rintik-rintik dari langit mulai berguguran perlahan. Kemudian menjadi besar dalam hitungan menit. Ketika pengendara lain sibuk menyelamatkan diri, begitu heboh seolah meteor yang baru saja berjatuhan. Jingga justru baru membuka kaca helm, membiarkan rintiknya perlahan menerpa sisa-sisa air mata di wajah saljunya. Tak berniat sama sekali untuk menyinggahkan diri atau memakai jas hujan.
Seling beberapa menit, netranya menangkap seorang gadis yang tampak kesusahan di samping jalan, tengah ditimpa sepeda agaknya. Namun sepertinya juga sedikit terluka. Ia memutar arah, mendekati tempat.
"Melodi? Lo gak apa-apa?" Terkejut bukan main, melihat Melodi mendapat luka di beberapa bagian anggota tubuhnya.
Sepedanya nampak sedikit tergores, tapi kulitnya juga banyak melebam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melodi Jingga
Random⚪[On Going] "Cape, Tuhan!" "... 17 tahun tinggal di dunia, tapi susah banget buat lakuin apa yang Jingga suka! Kenapa harus pandangan orang yang dipeduliin Ayah Bunda?!" "DAMN! I DESERVE DIE!" 🍒 "Kalo Ayah Bunda marah, kalian masih punya Jingga bua...