Berbagai peralatan dan bahan untuk pemeriksaan dan uji sampel darah telah memenuhi meja di ruang lab. Petugas lab bergerak dengan tingkat fokus dan ketelitian yang tinggi saat mencampurkan sampel darah dengan reagen yang akan membuat sampel itu bereaksi. Tidak hanya satu metode, untuk memastikan kebenaran data, ia turut memakai metode lain yang dirasa akurat dan tepat.
Setelah memakan waktu cukup lama, ditemukan keabnormalan pada sampel darah Jingga. Jumlah leukosit melebihi batas normal orang sehat pada umumnya. Petugas lab mulai menarik kesimpulan dari data yang ia dapati, dan setelah dipantau langsung oleh sang dokter, maka tahulah ia bahwa pasien yang satu ini harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut.
🍒🍒🍒
Pada hari setelah Jingga diizinkan keluar dari rumah sakit, dokter menyampaikan pesan kepada Meggy bahwa Jingga harus melakukan biopsi untuk mengetahui jenis penyakitnya akut atau kronik, dan sudah sejauh mana tingkat bahaya bagi tubuh lelaki 17 tahun itu.
Saat mendengar kabar demikian, Meggy bak terhantam peluru paling mematikan. Sebagai seorang mahasiswi fakultas kedokteran, ia sedikit tahu tanda-tanda penyakit yang dialami adiknya itu terlebih saat dokter menyampaikan hasik dari tes darah, hanya saja ia tak ingin berafirmasi terlalu negatif. Ketakutan akan sesuatu yang buruk yang menimpa adik satu-satunya itu membuncah semakin tinggi.
"Jingga, lo minggu depan harus ikut kakak ke rumah sakit lagi."
Kebenarannya, ia tak tega memberi tahu adiknya perihal tak mengenakan saat lelaki itu tengah terbaring lesu di atas kasur. Tapi, perempuan itu harus melakukannya, agar Jingga menyetujui dan menyatakan kesanggupan, meskipun Meggy sebenarnya tahu bahwa Jingga sangat membenci aroma rumah sakit bahkan sebelum ia beranjak remaja.
"Hah? Rumah sakit, lagi?" Jingga membuka matanya perlahan, ketidakberdayaan meraup rakus seluruh energi di bumi menguasainya, tapi saat indera pendengaran menangkap kata 'rumah sakit', spontan inisiatifnya bergejolak melontar tanya.
"Ngapain si, kak? Ga mau! Tadi kan udah pergi juga, udah diambil lagi darahnya, Masak mau diambil lagi minggu depan?"
Meggy sudah tau penolakan akan menjalari pernyataannya. Lantas ia mendekati lelaki itu, perlahan mendudukkan diri di atas kasur.
"Jingga, lu harus ngelakuin ini. Minggu depan lu bukan harus diambil darah lagi. Tapi pemeriksaan yang lebih spesifik, lanjutan dari sampel kemaren."
Jingga bingung, terkesan sekali bahwa itu adalah kata-kata pemaksaan berkedok tutur lembut dari sang kakak.
"Kak! gue ga m-"
Uhuk! Uhuk!
Jingga terbatuk sebelum usai menyanggah. Meggy spontan menyambar gelas berisi air putih di atas nakas, lalu perlahan menyuguhkan itu pada lelaki yang parasnya masih memucat. Ia juga turut membelai punggungnya.
Usai meneguk beberapa, Jingga berantusias melanjutkan kalimat sanggahan yang sempat terpotong. Namun, alangkah tidak berdayanya ia melawan perempuan satu ini. Pada akhirnya, kepastian yang pastinya selalu terealisasi adalah, Jingga akan selalu mengalah. Kenyataannya lagi, dia memang tidak pernah menang bila beradu argumen dengan kakaknya itu.
"Oke! Terserah lu deh, Kak. Cape!"
Jingga membungkus dirinya dengan selimut. Menyelimuti perasaan kalah yang membuatnya geram. Sekali lagi, ia harus menempuh tempat menyeramkan yang dipenuhi instrumen medis menyedihkan. Dan entah akan berlanjut sampai kapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melodi Jingga
Random⚪[On Going] "Cape, Tuhan!" "... 17 tahun tinggal di dunia, tapi susah banget buat lakuin apa yang Jingga suka! Kenapa harus pandangan orang yang dipeduliin Ayah Bunda?!" "DAMN! I DESERVE DIE!" 🍒 "Kalo Ayah Bunda marah, kalian masih punya Jingga bua...