64. Rasa Sakit

1K 84 1
                                    

Kalevi melangkah santai memasuki rumah dengan seragam Sekolah yang masih melekat pada tubuhnya. Alisnya bertaut ketika mendapati kedua orang tuanya tengah duduk di meja makan. Aneh, ini baru jam 8 malam. Tidak biasanya mereka pulang dari kantor secepat ini.

"Berhenti, Kalevi Wirasana."

Terpaksa Kalevi menghentikan langkahnya di dekat Tuan Wirasana. Lelaki tersebut berbalik menghadap sang Ayah. Namun, Tuan Wirasana masih setia dengan posisi membelakanginya. Kalevi beralih melirik ke arah Mayang yang hanya diam saja sambil tertunduk ketakutan. Dan saat itu Kalevi mulai menyadiri satu hal, pasti Clarissa atau Mamahnya telah mengadukan perbuatan Kalevi.

"Apakah anda jadi berbicara? Jika tidak jadi saya akan ke kamar."

Bugghhh!

Baru saja selesai berbicara Kalevi langsung mendapat bogem mentah di pipinya dari Tuan Wirasana. Membuat tubuhnya langsung tumbang ke lantai akibat belum siap menerima pukulan. Kini sang Ayah sudah berdiri di hadapannya dengan wajah yang penuh amarah.

"Kalevi!" Mayang sudah bersimpuh di samping Kalevi. "Mas! Kamu apa-apaan sih?! Aku tahu kamu marah, tapi jangan sakiti anakku!"

Baik Kalevi maupun Tuan Wirasana menghiraukan keberadaan Mayang. Kepala keluarga itu menatap anak laki-lakinya dengan sorot mengerikan, sementara Kalevi menatap Papahnya dengan sorot terluka. Sudah lama sekali Kalevi tidak mendapatkan pukulan ini dari Wirasana. Seingatnya terakhir kali sang Papah memukulnya yaitu saat Kalevi kelas lima SD. Itupun karena Ia telah membohongi Papahnya.

"Apa yang kamu katakan kepada Clarissa?!" bentak Wirasana.

"Saya hanya memberitahu Clarissa sebuah fakta tentang orang tuanya. Tentang bagaimana Tante Sarah dan Om Pandu menghancurkan kebahagian sebuah keluarga. Apa saya salah?" jawab Kalevi.

Tuan Wirasana menarik kerah seragam anaknya, mendekatkan wajahnya dengan Kalevi. "Apa kamu tahu karena ulahmu itu Nyonya Sarah membatalkan pertunangannya. Dia juga telah melepas kerja sama dengan perusahaan Papah!"

Kalevi tersenyum puas. Lalu Ia menjawab, "bukankah itu bagus? Setidaknya saya tidak perlu repot-repot menjalin hubungan dengan perempuan yang tidak saya cintai."

"Beraninya kamu!"

Bugghhh!

Kepalan tangan Wirasana mendarat di wajah tampan Kalevi untuk yang kedua kali. Menghasilkan darah segar yang mengalir dari hidung laki-laki tersebut. Dan hal itu membuat Mayang semakin histeris, tanpa bisa melakukan apa-apa. Saat ini Kalevi hanya pasrah ketika Papahnya terus menarik kerah bajunya dengan erat. Tubuh itu bak sudah kehilangan jiwanya, hanya ada tatapan hampa yang dipancarkan dari mata seorang Kalevi Wirasana.

"Dasar anak tidak berguna! Perusahaan milik keluarga Clarissa sangatlah berpengaruh besar bagi perusahaan Papah! Dan karena kamu, kerja keras yang Papah bangun susah payah selama ini akan hancur dalam waktu semalam!"

Wirasana berniat memberikan pukulan lagi kepada Kalevi. Namun, kepalan tangannya terhenti sebelum mencapai wajah tampan tersebut. Wajah Kalevi yang terluka sekarang ini mengingatkan Ia pada masa kecilnya. Masa dimana Ia dipukuli hampir setiap hari oleh Ayahnya. Wajah Kalevi sangat mirip dengan pemuda yang sangat Ia benci di masa lalu, yang tak bisa melawan perintah dari kedua orang tuanya dan hanya mematuhi layaknya hewan peliharaan. Pemuda tersebut adalah Wirasana itu sendiri.

"Kenapa berhenti? Pukul lagi Pah! Pukul Kalevi sampai mati! Bukannya nyawa Kalevi gak sebanding dengan perusahaan Papah?! Bunuh Kalevi kalo itu buat Papah puas!" teriak Kalevi dengan suara yang mulai bergetar.

Mendengar ucapan Kalevi membuat tangis Mayang semakin menjadi. Itukah yang dirasakan oleh putranya selama ini? Menganggap bahwa Ayah dan Ibunya lebih mengutamakan pekerjaan dibandingkan nyawa Kalevi sendiri? Tidak, Selama ini Mayang bekerja untuk Kalevi. Ahh bukan, Mayang mulai sadar bahwa semakin lama tujuannya mulai berubah. Ia bekerja bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan Kalevi, melainkan untuk mendongkrak status sosial mereka. Meskipun harus menumbalkan perasaan anak semata wayangnya. Jika Mayang tahu semua akan menjadi seperti ini, Ia lebih baik memutuskan menjadi ibu rumah tangga sejak awal. Mengurus rumah dan mengasihi Kalevi seperti yang dilakukan seorang ibu pada umumnya. Namun, penyesalan selalu datang di akhir. Tak ada yang dapat Ia ubah, Ia sudah melukai hati putranya.

Wirasana menghempaskan tubuh Kalevi dengan kasar ke lantai, lalu memunggunginya. "Seandainya Papah tahu kamu akan menjadi anak yang pembangkang dan tak berguna, alangkah baiknya kamu tidak pernah terlahir ke dunia ini," ucap Wirasana, lalu melenggang pergi ke kamarnya.

Kata-kata yang dilontarkan Wirasana terdengar layaknya sebuah kutukan bagi Kalevi. Semua anak di dunia ini pun pasti merasakan hal yang sama jika orang tua mereka melontarkan kata keramat tersebut.

"Kalevi juga gak meminta untuk dilahirkan ke dunia ini," gumam Kalevi bersamaan dengan air mata dan darah yang meluruh.

Kalevi menyeka darah yang terus menetes dari hidungnya. Lalu menatap cukup lama cairan merah yang berada di tangan serta yang tercecer ke lantai. Darah tersebut adalah darah yang sama yang mengalir pada tubuh Wirasana. Orang yang telah menyebabkan darah ini tercecer ke lantai. Entah untuk yang keberapa kalinya Kalevi menghadapi pertengkaran dan perkelahian yang beberapa kali hampir merenggut nyawanya. Namun, perkelahian dengan sang Papah adalah luka yang paling sakit yang pernah Kalevi rasakan.

Semua rasa sakit itu berbaur menjadi satu pada diri seorang Kalevi. Lukanya sangat nyata, terasa di wajah serta hati. Papahnya hanya memberi pukulan pada wajah, tetapi raga dan jiwanya seakan ikut diremukkan dalam waktu bersamaan. Ini adalah sakit yang luar biasa. Sakit yang tak pernah Kalevi lupa. Sakit yang diberikan oleh seorang Ayah kepada putranya melalui kata.

"Kalevi gak papa, Sayang?" Mayang sudah berada di hadapan Kalevi. Menyentuh luka yang dihasilkan oleh suaminya.

Kalevi tak menjawab.

Bi Siti keluar dari persembunyiannya. Sejak awal Ia menyaksikan bagaimana Kalevi dihajar oleh Papahnya sendiri. Namun, Ia tak memiliki keberanian untuk melerai. Ia sadar diri bahwa dirinya hanyalah seorang asisten rumah tangga yang tak sepantasnya ikut campur urusan antara anak dan Ayah. Mayang saja tidak berani melerai, apalagi Bi Siti.

"Den Kalevi gak papa? Ya Allah hidung Aden berdarah! Ayo bibi bantu ke kamar Den Kalevi, biar bibi obatin di sana."

Kalevi bangkit dibantu oleh Bi Siti. Sementara Mayang kembali tertunduk. Mungkin Kalevi lebih merasa nyaman bersama Bi Siti dibanding bersamanya. Sejenak Kalevi mematung di tempat, menunduk guna menatap Mamahnya yang masih duduk di lantai sambil menangis.

"Kalevi belum mati, jadi Mamah gak usah nangis. Simpan aja air mata Mamah buat pemakaman Kalevi nanti."

Mayang mendongak cepat guna menatap Kalevi. Apa-apaan anaknya ini membicarakan tentang kematian?! Ia kemudian berdiri dengan memasang wajah kesal. "Kamu ngomong apa sih Kalevi?! Mamah gak suka!"

Kalevi tersenyum dengan tatapan sayu. "Manusia akan mulai menghargai ketika sudah kehilangan. Dan ketika saat itu tiba, Kalevi akan merasa menjadi orang paling bahagia karena akhirnya dicintai dengan tulus oleh Mamah."

"M-mamah selalu mencintai kamu dengan tulus, Kalevi," kata Mayang dengan suara bergetar. Apakah sesulit itu untuk meyakinkan Kalevi bahwa Mayang sangat mencintai dan menyayanginya?

Sekali lagi Kalevi tersenyum. Senyum yang menyiratkan luka. "Benarkah? Coba tanya sekali lagi ke lubuk hati Mamah yang paling dalam. Itu cinta, atau sekedar belas kasihan semata."

"Papah bener, gak seharusnya Kalevi terlahir ke dunia. Untuk apa Kalevi hidup kalo kedua orang tua Kalevi sendiri aja gak menginginkan itu?"

Mayang memeluk Kalevi dengan erat, menangis sejadi-jadinya di dada bidang milik putranya. "Mamah sayang kamu melebihi nyawa Mamah sendiri, Kalevi. Mamah ingin kamu terus hidup. Tolong percaya sedikit saja sama Mamah," isak Mayang.

Kalevi tak bergeming, tidak ada tanda-tanda darinya untuk membalas pelukan sang Mamah. Bi Siti ikut menangis. Nasi telah menjadi Bubur, mungkin itulah peribahasa yang tepat untuk Mayang. Dulu Ia terlalu mementingkan urusannya sendiri ketimbang Kalevi. Memberikan tanggung jawab seorang ibu kepada Bi Siti sepenuhnya. Dan sekarang lihatlah apa yang terjadi, anak semata wayangnya itu bahkan tak mempercayai sedikitpun ucapan dari ibu kandungnya sendiri bahwa Mayang sangat mencintai Kalevi.

"Maaf, tapi Kalevi gak percaya lagi dengan kalimat itu Mah," bisik Kalevi tepat di telinga Mayang.

Jangan lupa tekan bintangnya Kakak :')

KaleviTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang