Makan Malam

3.5K 549 16
                                    

"Kenapa kamu harus ikut menyiapkan makan malam kita, Nura."

Aku sedang menaruh semangkuk besar sop buntut kesukaan Aditya saat pria yang lebih tua 5 tahun dariku ini menegurku. Melihat sosok pria hangat dengan senyuman ramah yang selalu tersungging di bibirnya membuat pipiku memerah, apalagi berbeda dengan Mas Bagas yang selalu ketus padaku bahkan terkesan tidak menyukaiku, Aditya adalah pria yang hangat.

Dan semakin matang usianya, rasa kagum yang aku miliki terhadap putra kedua Wiraatmaja ini semakin menjadi, rasa yang seharusnya tidak di miliki oleh anak pembantu sepertiku terhadap Sang Majikan. Tapi aku cukup sadar diri, dengan hanya menyimpan rapat perasaan ini seorang diri.

"Sudah kebiasaan Mas Adit, jadi keinget dulu sering bantuin Ibu. Sekarang Ibu sudah nggak ada ya Nura bantuin Mbak Sumi."

Decakan tidak suka terdengar dari Mas Adit, begitu aku sering memanggilnya, pria yang kini mengurus pabrik Baja di Semarang ini menatapku tidak suka, dan saat aku hendak kembali ke dapur mengambil masakan lainnya, dia menahanku, memintaku untuk duduk di sampingnya. "Sudah, biarin di urusin sama Mbak Sumi juga yang lain, kamu di sini tamu. Bukan pembantu, harus berapa kali aku dan Papa mengatakan hal ini padamu, Nura."

Untuk sejenak jantungku berhenti berdetak mendengar suara tegas Mas Aditya ini, tatapan tajam darinya menyiratkan jika aku tidak boleh membantah apa yang dia ucapkan.

Sedari dulu, dia dan Pak Toni tidak pernah memperlakukanku seperti pembantu, tapi seperti seorang anak pada umumnya, jauh berbeda dengan Ibu Toni dan Mas Bagas yang selalu memandangku sinis.

"Jiwa pembantunya sudah melekat, Dit. Susah buat di ubah."

Baru saja aku memikirkan bagaimana reaksi Mas Bagas atau Bu Toni saat mendengar apa yang di katakan oleh Mas Aditya, panjang umur salah satu dari mereka datang, dan apa yang di ucapkan Mas Bagas saat sesuai dengan perkiraanku.

"Bang Bagas cuma bijaksana di Polres, tapi nggak bisa bijaksana di rumah." Dengan tenang Mas Aditya menimpali, tapi kalimat sarkas tersebut sama sekali tidak berpengaruh pada Mas Bagas. Pria itu justru bangkit dari kursinya saat Mbak Helen mendekat dan menarikkan kursi untuk istrinya, aku sudah pernah bilang belum kalau Mas Bagas ini hanya akan hangat pada dua orang wanita, yaitu Ibunya sendiri, dan juga Mbak Helen.

Saat dengan orang Mas Bagas menjadi ketus, ogah berbicara, tapi saat dengan Mbak Helen, maka Mas Bagas akan menatap wanita tersebut penuh cinta seolah di matanya hanya ada istrinya tersebut.

"Bijaksana versimu yang bagaimana, Dit?  Perasaan aku ngomong yang sebenarnya soal Nura anak pembantu. Memang dia anaknya Bik Nurul, salahku dimana sampai bawa-bawa tugasku? Kalau dia anaknya Bik Nurul aku harus panggil dia Nyonya gitu?"

Aku hanya bisa menghela nafas panjang, menyabarkan diri atas ucapan Mas Bagas yang memang selalu pedas, Mas Bagas benar, walaupun terdengar jahat tapi semua yang di ucapkan Mas Bagas benar adanya tentangku.

Jika sudah berdebat seperti ini Kakak beradik ini akan berakhir dengan Aditya yang menggeleng pelan, enggan untuk membalas Mas Bagas yang tidak akan pernah mau kalah dalam berdebat.

"Mulai sekarang, jangan kayak gitu ke Nura, Bang." Ucapan dari Mbak Helen membuatku dan Mas Adit langsung mengernyit heran, Mbak Helen memang baik padaku, tapi sampai membela dan berdebat dengan Mas Bagas, tentu itu hal yang tidak biasa.

Rasa penasaranku semakin menjadi tentang undangan datang ke rumah Wiraatmaja ini, di mulai dari permintaan bantuan Mbak Helen, hingga pesan ambigu Pak Toni, dan sekarang di tambah dengan sikap Mbak Helen yang sangat tidak biasa ini.

"Semuanya sudah lengkap?"

Suara Pak Toni mengalihkanku. Beliau tidak muncul sendiri, tapi bersama dengan Nyonya Besar Wiraatmaja yang dari dulu selalu sukses membuat bulu kudukku berdiri setiap bertatap muka. Rasa segan terhadap beliau yang nampak begitu terhormat membuatku yang duduk di meja makan satu tempat dengan majikan Ibuku ini merasa tidak pantas, ini seperti bukan tempat untukku, aku seperti melakukan kesalahan sekarang hanya karena mendapatkan tatapan tajam dari beliau.

"Nura, jangan tegang seperti itu, Nak? Lama nggak pulang ke rumah ini buat kamu jadi sungkan, ya? Kamunya baik-baik saja, kan?"

Sudah aku bilang, kan? Pak Toni adalah seorang yang ramah, untuk seorang yang hanya di pungut beliau sepertiku, beliau menanyakan keadaanku dengan begitu baiknya.

Aku mengangguk pelan, mengiyakan apa pertanyaan dari Tuan pemilik rumah ini, "Nura baik kok, Pak. Alhamdulillah."

Lama tidak terdengar suara, semuanya sibuk dengan makanan yang ada di piring sembari sesekali pembicaraan tentang masalah yang di tangani Mas Bagas di Kepolisian hingga urusan Bisnis Pabrik Baja yang di kelola oleh Mas Adit di tanyakan Pak Toni pada kedua putranya, semua hal yang di bahas di meja makan ini sama sekali bukan ranahku, hingga akhirnya namaku kembali di panggil dengan spesifik.

"Lalu bagaimana dengan pekerjaaanmu, Nura? Kamu betah dengan pekerjaanmu? Jika tidak kamu bisa bekerja untuk Aditya di kantor. Banyak lowongan untuk sarjana ekonomi dengan nilai baik sepertimu."

Kembali, aku hanya bisa mengangguk pelan, tapi kemudian aku menggeleng, sudah banyak hutangku pada keluarga ini, aku tidak ingin menambahkannya lagi. "Nura senang, Pak. Alhamdulillah di sana orang-orangnya baik dan mau membimbing anak baru seperti Nura."

Aku kira pertanyaan Pak Toni barusan hanya pertanyaan basa-basi yang akan berakhir saat aku memberikan jawaban, tapi ternyata ada tanya lain yang masih berlanjut.

"Syukurlah kalau semuanya baik, Nura. Lalu bagaimana dengan hubungan pribadimu? Jika sudah menemukan seseorang yang tepat, jangan lupa kenalkan pada kami. Untuk perempuan secantik dan sebaik kamu, pasti banyak yang mendekati." Kekeh tawa terdengar dari Pak Toni sekarang, seperti melihat raut wajahku yang tidak nyaman dan takut atas keakraban Pak Toni yang mungkin saja tidak di sukai Ibu Winda, Tuan rumah ini kembali melanjutkan. "Jangan ngerasa gimana-gimana atau sungkan, Nak. Bapak bertanya hal ini karena sejak kamu menginjakkan kaki di rumah ini 13 tahun yang lalu, kamu sudah Bapak anggap seperti anak perempuan Bapak sendiri.

Tanganku yang memegang sendok terasa menegang saat Pak Toni menanyakan hal pribadi ini bahkan menempatkan posisi beliau sebagai seorang orangtua, dan tanpa bisa aku cegah, aku melirik pada Mas Aditya yang ada di sampingku, bagaimana bisa aku memikirkan para rekanku yang mendekatiku ke jenjang hubungan yang serius jika selama ini tanpa sadar aku selalu membandingkanya dengan sosok Aditya Wiraatmaja.

"Saya belum mikirin hal itu, Pak."

Hanya jawaban itu yang bisa aku berikan, dan saat Pak Wiraatmaja akan kembali bertanya, Bu Widya menyela. "Bagus kalau kamu nggak dekat dengan siapapun, bisa kita bicara berdua, Nura?"

Nura, Baby For YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang