"Jika kamu ingin pergi dan menolak permintaan tolong saya, lebih baik kamu lihat ini dahulu."
Langkahku seketika terhenti saat melihat Nyonya rumah ini mengangkat sebuah map coklat padaku, apapun itu dari senyuman Bu Widya yang selalu berarti sesuatu yang tidak menyenangkan membuatku tahu jika itu pasti hal yang bisa menghentikanku keluar dari ruangan ini.
"Ayo ambil!"
Aku meremas tanganku kuat. Rasanya aku ingin sekali menjadi orang yang tidak tahu diri dan berlari saja keluar dari rumah ini, tapi rantai tak kasat mata bernama hutang budi seperti merantai kakiku dengan kuat, tidak membiarkanku pergi dan selalu menahanku untuk menurut pada perintah keluarga Wiraatmaja.
Tuhan, kenapa Engkau membuat semua orang bisa begitu berkuasa atas diri orang lain? Kenapa Engkau membuatku tidak berdaya seperti ini? Sekarang langkahku terasa mengambang saat meraih map coklat yang di sodorkan oleh Bu Widya.
Dan di saat akhirnya aku membuka map tersebut, aku merasa ini adalah puncak atas ketidakberdayaanku yang tidak mempunyai apa-apa di dunia ini, deretan rincian biaya sekolah dari aku umur 10 tahun kelas 4 SD di salah satu sekolah Swasta terbaik hingga aku mengenyam pendidikan gelar sarjanaku, bukan hanya biaya pendidikanku selama ini yang begitu besar, tapi juga di sebutkan tentang biaya fasilitas hidupku selama berada di rumah ini yang ternyata turut di perhitungkan, dari banyaknya angka yang berderet, semua itu akhiri dengan biaya pengobatan Ibu selama berbulan-bulan di ruang sakit dan juga biaya pemakaman Ibu.
Jangan tanya berapa jumlah total uang dari semua akumulasi tersebut, bahkan mataku nyaris lepas dari tempatnya saat melihat gaji Ibuku berpuluh-puluh tahun bekerja di rumah ini tidak sampai mampu membayar separuh dari total semuanya.
Rasanya nyawaku sudah nyaris lepas dari tempatnya, kata siapa hanya hutang budi yang tidak bisa di bayar, jika hutang tersebut di uangkan dan di rinci sedemikian rupa seperti yang tengah di perlihatkan Bu Widya padaku, maka aku yakin segala hal baik yang dulu kita syukuri kini berubah menjadi bencana.
"Lunasi semua hutang Ibumu atas kehidupan nyaman kalian selama ini? Kamu sudah lihat kan nominalnya sudah saya potong dengan gaji Ibu kamu." Astaga Bu Widya, seperti mengerti aku akan menolak permintaan tidak masuk akal beliau, beliau menyiapkan semua hal ini, membuatku tidak bisa berkutik sama sekali. "Saya meminta tolong padamu sebagai keluarga, berharap kamu akan sedikit menjadi manusia dengan mau membalas budi atas kebaikan keluarga kami pada kalian selama ini, tapi ternyata kamu melupakan semua hutang budi tersebut."
Desah nada kecewa yang di buat-buat terdengar dari Bu Widya sekarang melihatku pucat pasi.
"Bagaimana saya membayar uang sebanyak ini, Bu?" Ya, bagaimana aku akan membayar semua uang dalam nominal fantastis ini? Dari mana aku akan mendapatkan uang sebanyak ini? Bermimpi saja aku tidak berani untuk memiliki uang sebanyak ini.
Dan yang semakin menyakitkan, Bu Widya hanya mengangkat bahu beliau acuh, tampak puas melihatku yang tidak bisa apa-apa saat di hadapkan dengan materi. Setengah mati aku berusaha kuat, berusaha agar tidak meneteskan air mata karena semua hal yang terasa menyakitkan ini.
Ibu, kenapa hidup kita seperti ini, Bu?
"Terserah kamu mau bayar semua hutang itu bagaimana caranya? Jika kamu tidak bisa membayarnya, maka kita serahkan saja ke Polisi, kamu cukup pintar untuk tahu dengan siapa kamu berhadapan, bukan? Kamu berhadapan dengan saya."
Widya Wiraatmaja, semua orang mengenal Ibu Baik hati putri seorang Jendral yang namanya besar di kota ini, dan semakin terkenal saat akhirnya menikah dengan pengusaha baja ternama Toni Wiraatmaja. Aku tahu beliau arogan dan sedikit angkuh, tapi dunia mengenalnya sebagai pemilik yayasan yang menaungi banyak pendidikan anak-anak kurang mampu hingga membuat beliau di kenal sebagai Ibu Peri baik hati.
Dan jika sampai masalahku ini bergulir keluar, simpati akan sepenuhnya di dapatkan oleh beliau. Tidak akan ada yang mau membelaku, cap tidak tahu diri, tidak tahu terimakasih akan melekat padaku ini.
"Nura, bukan tanpa alasan saya memilihmu untuk menjadi istri siri Bagas. Saya memilihmu karena saya percaya padamu, saya yakin kamu seorang perempuan yang masih suci dan akan memberikan keturunan yang baik untuk putra sulung Wiraatmaja. Menurutmu walaupun saya mempunyai banyak uang dan kuasa, saya akan memilih sembarang orang di luar sana?"
Genggaman tanganku pada map coklat ini semakin menguat. Hati dan harga diriku kini di minta untuk balas budi dari wanita bercasing malaikat baik hati ini.
"Jadi istri siri Bagas dan pertikaian kita lupakan. Atau bersiap untuk saya hancurkan kamu hingga tidak bersisa, aaaahhh saran saya, hal pertama yang harus kamu lakukan jika memilih opsi kedua adalah siapkan makam untuk Ibumu. Saya tidak sudi membayar iuran tahunan untuk makam seorang Ibu dari anak yang tidak tahu diri."
Dan Booom, inilah puncak segala intimidasi Nyonya Wiraatmaja dalam menekanku hingga mengangkat wajah pun aku tidak sanggup lagi. Tidak ada pilihan kata tidak, hanya ada iya dalam permintaan yang di sodorkan.
Seketika air mataku menetes tanpa permisi, rasa sakit luar biasa yang bahkan tidak bisa aku jelaskan dengan kata-kata kini aku rasakan, seperti ada sembilu yang menancap hidup-hidup di hatiku saat mendengar Ibu yang sudah tiada pun harus di usik karena obsesi atas keturunan.
Bu Widya mengatakan beliau memilihku karena tidak sembarang memilih? Rasanya tidak ada sedikit pun keuntungan dari balas budi tersebut untukku. Aku akan kehilangan mahkotaku sebagai wanita dalam pernikahan siri yang tidak aku inginkan, aku di tuntut melahirkan seorang anak, dan saat anak itu lahir, aku tidak mempunyai hak sama sekali, aku bahkan tidak berhak di panggil Ibu oleh bayi yang akan aku kandung selama 9 bulan.
Dari semua hal di atas bagian mana yang baik untuk diriku sebagai wanita dan manusia. Harga diri dan hatiku benar-benar di minta untuk balas budi.
"Jadi bagaimana? Opsi mana yang kamu pilih, Nura? Ibu harap kamu akan membuat pilihan terbaik."
Aku menaruh kembali map coklat yang sudah kumal karena remasanku tersebut ke meja Bu Widya, bergantian aku menatap Bu Widya dan Mbak Helena, dua wanita yang tidak punya hati terhadap wanita lain demi egois mereka sendiri.
Bu Widya menanyakan apa yang aku pilih, memangnya aku pilihan selain iya? Anak mana yang akan sanggup membongkar makam Ibunya hanya karena ego dan tidak sanggup membayar hutang.
"Apa Ibu memberikan pilihan kata tidak untuk tawaran ini? Bukankah hanya kata iya yang Ibu ingin dengarkan. Ibu meminta hati dan harga diri saya sebagai balas budi kebaikan keluarga ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nura, Baby For You
RomanceAttention. Cerita ini hanya fiksi belaka yang terinspirasi dari beberapa kejadian di sekeliling kita. Kesamaan nama tokoh, latar belakang cerita, dan kejadian, hanyalah kebetulan semata. "Untuk pertama kalinya Ibu ingin meminta sesuatu darimu, Nu...