"Gimana malam pertamanya, Sayang? Kamu menikmatinya, Mas? Nura beneran masih virgin, kan?"
Mendengar pertanyaan Helena di telepon membuat Bagas langsung menjauhkan ponselnya dari telinganya, Bagas tidak mengerti dengan jalan berpikir wanita lugu nan pintar putri gubernur Akpol yang membuatnya jatuh hati itu, bagaimana bisa seorang istri tanpa beban menanyakan bagaimana malam pertama suaminya dengan istri keduanya?
Kepala Bagas berdenyut nyeri, jika istrinya waras, pasti dia tidak akan meminta Bagas menikah lagi. Dan sekarang setelah menghilang dengan izin dia akan liburan dengan teman arisannya usai Bagas melaksanakan akad nikah, Helena meneleponnya dan langsung menodongnya dengan pertanyaan absurd yang Bagas sendiri risih untuk menjawabnya.
Bagas menghela nafas panjang, mengumpulkan kesabaran untuk berbicara dengan istrinya tersebut, tidak tahukah Helena jika dia begitu gamang berasa di antara dua wanita, yang satu yang di cintainya, dan satu yang menjadi tanggung jawabnya.
"Kamu ngomong apa sih, Len? Sudah aku bilang, bukan. Rasanya aku nggak sanggup kalau harus bersama dengan wanita lain. Bagaimana aku mau menghabiskan malam dengan wanita lain jika yang ada di kepalaku adalah perasaan kalau aku mengkhianati kamu."
"........... "
"Cepet pulang lah, Len. Nggak baik kamu kebanyakan pergi sama teman-teman arisan kuliahmu itu, nggak ada manfaatnya juga gabung sama mereka."
Semua yang di katakan Bagas memang benar, Bagas tidak menyukai teman arisan Helena karena semenjak Helena bergabung dengan mereka istrinya jadi lupa waktu dan kewajiban, tidak seperti pergaulan Ibu Pinkys yang akan fokus pada kegiatan sosial, teman arisan Helena hanya akan berfoya-foya arisan serta liburan tidak penting, persis yang di lakukan Helena sekarang seperti seorang tanpa suami, tapi yang terpenting adalah Bagas tidak ingin merusak Nura, memperlakukan Nura sebagai istri berarti bertanggungjawab sepenuhnya sebagai seorang Suami.
Walau Bagas tidak menginginkan Nura, tapi mengabaikan Nura dan hanya memanfaatkannya seperti yang di inginkan Ibu dan Istrinya, Bagas juga tidak mampu. Walaupun hatinya keras dan mulutnya kerap bersuara pedas terhadap Nura, tapi menyakiti perempuan yatim piatu yang di kenalnya semenjak gadis itu memakai rok merah SD bukan hal bisa di lakukan Bagas. Bagas masih mempunyai nurani terhadap Nura.
Gadis itu terlalu naif dalam memandang dunia, Bagas bisa membayangkan alangkah sakitnya jika Nura benar mendapatkan semua perlakuan tidak adil yang di perintahkan Ibunya, di minta mengandung, dan harus pergi seolah tidak ada yang terjadi.
Astaga, Bagas masih mempunyai hati untuk berlaku sekejam itu. Apalagi Bagas melihat Nura tumbuh dari hidupnya yang terseok-seok hingga mampu berdiri dengan kakinya sendiri di luar rumah Wiraatmaja.
Dan saat keluarga ini memanggilnya kembali hanya untuk datang, rumah besar yang penuh perlindungan ini justru meminta hati dan harga diri Nura sebagai balas budi.
Beberapa hari ini Bagas berdebat dengan dirinya sendiri. Di satu sisi dia mencintai Helena, di satu sisi kalimat Nura yang mengatakan jika suka atau tidak dia juga istrinya yang sah secara agama membayangi Bagas hingga membuatnya tidak bisa fokus pada tugas di kantor.
Bagas khawatir hatinya yang selama ini hanya untuk Helena akan goyah. Hidup satu atap dengan Nura bukan hal yang mudah. Nura, gadis itu adalah seorang wanita baik hati dan pendiam dengan segala pesonanya yang tersembunyi, belum lagi dengan kepolosan Nura khas seorang gadis rumahan, segala hal yang ada di diri Nura adalah semua hal yang di impikan semua pria dalam mencari seorang calon istri.
Dan sekarang, di tambah dengan keahlian gadis itu mengurus Bagas, bangun pagi pria itu di kejutkan dengan sarapan yang hangat, pulang kerja barusan, Nura menyambutnya dengan teh hangat juga pijitan yang menenangkan kepalanya yang pening.
Selama berumah tangga dengan Helena, baru kali Bagas merasakan hangatnya pulang ke rumah, sayangnya yang menyambutnya bukan Helena, tapi gadis lain yang di paksa masuk ke dalam hidupnya.
Suara gemericik air dari kamar mandi membuat Bagas sadar dari lamunannya, tanpa sadar dia mulai membandingkan Helena dengan Nura. Apalagi sekarang Helena bukannya mengerti dengan pergolakan batin Bagas, tapi justru semakin menambah pikirannya.
"Apaan deh, Mas. Nggak ada khianat mengkhianati, toh aku yang nyuruh kamu buat nikahin Nura. Harusnya kamu senang dong di ijinin punya istri lagi, di luar sana rekanmu harus diam-diam buat nikah lagi, lha kamu malah aku cariin istri, mana masih virgin lagi, ingat Mas, kita lakuin semua ini demi anak. Kamu mau Mama nendang aku jadi istri kamu kalau kita nggak punya anak, jangan sampai kita buat Mama marah, kalau kamu nggak mau kehilangan aku, buruan hamilin Nura. Semakin cepat dia hamil dan ngasih kita anak, semakin cepat semuanya selesai."
Bagas meremas rambutnya frustasi mendengar ucapan tanpa beban dari Helena. Kenapa Helena lebih takut pada Ibunya sedangkan dia tidak khawatir suaminya akan bermain hati. Dan yang melengkapi semua keegoisan Helena adalah ucapan penutupnya yang membuat Bagas benar-benar putus asa terhadap sikap istrinya tersebut.
"Kalau aku nggak dengar kabar Nura hamil, aku nggak mau pulang ke rumah. Ingat itu, Mas. Jadi cepat hamilin dia kalau mau aku pulang."
Seketika balkon kamar ruang kamar tamu yang kini menjadi kamar Nura menjadi hening karena Helena mematikan panggilan sepihak. Pandangan Bagas terasa kosong saat melihat potret profil istrinya yang tersenyum lebar di cottage pinggir pangai menikmati liburannya, tidak tahu jika suaminya di rumah sedang bergumul dengan di lema.
Pandangan Bagas terarah ke langit yang mulai memperlihatkan bintangnya, lelah dengan pikirannya yang terasa runyam.
"Bagaimana jika hatiku berubah setelah bersama Nura?"
"....... "
"Jika akhirnya kami benar memiliki anak, sanggupkah aku memisahkan anak itu dari Ibunya?"
"........ "
"Sanggupkah aku membuang gadis baik sebatang kara itu?"
"Mas Bagas!" Tepukan di bahu Bagas membuat Bagas tersentak, refleknya sebagai seorang Kanit di Polda membuatnya menarik tangan si pemanggil dan menguncinya dengan cepat. Tapi rintihan kecil dari tubuh mungil yang kini di dekatnya membuat Bagas tersadar, yang memanggilnya bukan musuh, tapi Nura.
Dari jarak sedekat ini samar-samar Bagas bisa mencium wangi gula yang manis dari tengkuk jenjang wanita yang ada di dekapannya, membuat Bagas teringat manisnya bibir yang di ciumnya tadi pagi, dan di saat Bagas melihat bibir itu mencebik kesal mengeluhkan tindakannya yang anarkis karena refleknya. Pikirannya yang kusut, wajah cantik yang menggemaskan di depannya, dan ingatan tentang manisnya bibir semerah gulali tersebut membuat Bagas kehilangan akal, bukannya melepaskan Nura yang sudah berteriak-teriak protes, Bagas justru bergerak membungkam bibir menggoda tersebut dengan ciuman.
Ciuman mereka untuk yang kedua kalinya.
Keduanya memang tidak menginginkan pernikahan ini, tapi siapapun tidak akan bisa menolak kehendak takdir, yang mempunyai sejuta cara agar mereka bersama.
Mereka memikirkan banyak hal kedepannya, sementara takdir selalu mempunyai cara untuk mengakhiri sesuatu yang sudah di awali.
Luka dan bahagia, kedua hal tersebut bagai saudara kembar.
Dan dalam kisah segitiga Helena, Bagaskara, dan Nura, tidak tahu siapakah yang mendapatkan duka atau akhir yang bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nura, Baby For You
RomanceAttention. Cerita ini hanya fiksi belaka yang terinspirasi dari beberapa kejadian di sekeliling kita. Kesamaan nama tokoh, latar belakang cerita, dan kejadian, hanyalah kebetulan semata. "Untuk pertama kalinya Ibu ingin meminta sesuatu darimu, Nu...