Menyakitkan

3.8K 641 61
                                        

"Aku tidak akan sudi mengantarkan kamu kembali jika bukan karena Helena."

Untuk kesekian kalinya aku mendesah kesal karena ucapan dari Bagaskara. Bukan hanya dia yang tidak sudi bersamaku, apalagi mengantarku pulang. Jika aku mempunyai pilihan aku tidak ingin melihat pria yang bertugas di Polda Unit Kriminal ini seumur hidupku.

Bukan hanya Bagaskara, tapi semua orang yang merupakan atau berhubungan dengan keluarga Wiraatmaja. Selamanya, aku tidak ingin bertemu mereka lagi.
Mereka memberikan harapan, dan mereka juga yang menghancurkan hidupku hingga tidak bersisa sama sekali.

Suasana di mobil ini tadinya begitu tenang, aku sama sekali tidak membantah saat Mbak Helena berkata Mas Bagas akan mengantarkan aku pulang ke Kosku. Memangnya Budak sepertiku boleh melawan kehendak Yuannya? Sekali aku ingin melawan, mereka menunjukkan kuasanya dengan cara yang begitu mengerikan. Dan sekarang suasana tenang itu pecah karena ucapan ketus dari Mas Bagas.

"Aku tahu dan tidak perlu menjelaskannnya, Mas Bagas." Hanya kalimat itu yang aku ucapkan padanya, bahkan aku tidak ingin melihat ke arahnya dan memilih melihat pemandangan kota Solo yang perlahan mulai padat seiring dengan bertambah majunya Kota ini.

Dan tepat selesai berkata demikian mobil ini berhenti karena lampu merah, tepat di sebelah mobil Mas Bagas, aku melihat seorang pria yang membonceng seorang anak perempuan menggunakan motor bebek yang sudah tampak lawas, tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi dari senyuman yang muncul di wajah kedua Bapak dan anak tersebut, aku tahu apapun pembicaraan mereka sudah pasti itu adalah hal yang menyenangkan.

Beruntung sekali anak itu, sosok Ayah yang di milikinya adalah cinta pertamanya, yang membuatnya tersenyum dan membahagiakannya walau di dalam kesederhanaan. Andaikan ada keajaiban yang menghampiriku, aku ingin menjadi anak perempuan itu untuk beberapa saat, merasakan perlindungan seorang Ayah yang tidak pernah aku miliki. Ayahku adalah patah hati pertamaku, dan terkadang aku berpikir, andaikan Bapak bukan seorang pria yang brengsek apa hidupku akan semenderita ini?

Mungkin jika Bapak bukan pria jahat, Ibu akan hidup sampai sekarang, dan yang pasti harga diri dan hatiku tidak harus tergadai pada keluarga Wiraatmaja. Semuanya hanya andai-andai, kenyataannya aku hidup di lingkaran yang penuh ketidakberuntungan. Kebahagiaan adalah hal yang mustahil dan terasa tidak mungkin untukku.

"Sombong sekali dirimu ini, Nura. Apa kamu pikir dengan semua hal bodoh ini kamu bisa berbuat seenaknya?"

Sombong? Aku menatap Mas Bagas tidak percaya? Bagian mana dari diriku bisa menyombongkan diri? Hanya karena aku membalas ucapannya dengan jawaban singkat dia kembali menghardikku? Apa sekarang aku juga kehilangan hak untuk diam?

"Apa yang bisa aku sombongkan, Mas Bagas? Aku hanya menjawab singkat karena aku tahu, aku tidak berhak bahkan untuk berbicara. Dan tolong, jika kamu merasa semua rencana Ibu dan Istrimu ini bodoh, hentikan semuanya sebelum terlambat!"

Aku kembali membuang muka, perih rasanya perasaanku sekarang, semua hal yang terjadi hari ini tidak ada satu pun yang baik untukku. Dan untuk berdebat mendapatkan kebencian lainnya dari Mas Bagas aku sudah tidak sanggup lagi menerimanya untuk penutup hari.

Tapi sepertinya yang sedang frustasi bukan hanya diriku, tapi juga Mas Bagas dalam menghadapi semua hal gila dan bodoh ini.

Sebuah hentakan keras terdengar dari sampingku, dan saat aku menoleh aku melihat Mas Bagas memukul stirnya keras-keras lengkap dengan raungan putus asanya, tidak menunggu lama, mobil yang awalnya melaju dengan kencang ini perlahan menepi.

"Aku lelah dengan semua tekanan ini, Nura."

❤❤❤

"Minumlah dulu, Mas."

Kusodorkan sebuah cup plastik berisi kopi instan dari penjual asongan yang banyak berkeliling di jembatan tempat mobil Mas Bagas berhenti. Alisnya yang terangkat tajam terlihat akan menolak, tapi setengah memaksa aku meraih tangannya, memberikan kopi itu padanya.

Hati dan perasaannya yang kalut membutuhkan sedikit cafein untuk memenangkan diri. Sama sepertiku.

"Minumlah, sedikit banyak akan menenangkan walaupun pasti tidak akan mengurangi masalah kita."

Aku turut duduk bersandar di Kap mobil ini, melihat banyaknya anak muda yang berkerumun di jembatan menghabiskan waktu mereka yang kosong, tampak tawa dan canda terdengar dari mereka menertawakan hal-hal yang sebenarnya receh, jika di bandingkan dengan mereka semua aku seperti orang yang tidak berguna sekarang.

"Aku tidak habis pikir dengan Helena dan Mama."

Akhirnya sekian lama membisu, pria yang ada di sebelahku ini membuka suara juga, tatapan Mas Bagas tampak kosong menjelaskan hatinya yang pasti juga gamang.

"Demi hal yang bernama keturunan, Helena memintaku untuk menikahi orang lain. Aku rasa dia tidak mencintaiku karena nyatanya dia rela melihatku bersama dengan wanita lain."

Aku sama sekali tidak menjawab, memilih mendengarkan keresahan dari Mas Bagas, toh aku terlalu mengenal watak pria arogan ini, baginya hadirku hanya angin lalu jadi yang terbaik yang bisa aku lakukan adalah diam dan mendengarkan keluhannya tentang hidup.

"Aku saja tidak rela melihatnya di lirik atau tersenyum pada pria lain, tapi Helena, dia justru memintaku menikahi wanita lain demi mendapatkan anak, bagaimana bisa seorang wanita ingin merawat anak dari suaminya bersama wanita lain. Tanpa anak aku sudah bahagia, hanya dengan dirinya saja aku merasa hidupku sudah lengkap. Aku hanya butuh bersama dengan wanita yang aku cintai, kenapa dia tidak bisa melakukan hal yang sama terhadapku."

Sepertinya kebaikan dan kesabaran Mbak Helena berada di taraf yang tidak bisa di mengerti manusia biasa sepertiku. Aku melihat cinta pertamaku yang terpendam bersama dengan pacarnya dan mendengar mereka akan menikah saja merasakan jika duniaku yang sudah hancur runtuh seketika, tapi Mbak Helena, seperti yang di katakan Mas Bagas tadi, dia justru meminta suaminya untuk menikah lagi demi mendapatkan anak. Bukankah lebih baik mengadopsi anak dari pada melihat orang lain mendua.

Mbak Helena yakin Mas Bagas tidak akan tergoda denganku, begitu juga denganku yang dia anggap bukan saingan untuknya, ya memang benar tidak akan ada ketertarikan fisik atau pun hati, tapi dalam prosesnya, serela itukah hati Mbak Helena melihat suaminya bersama denganku demi anak?

Dengan semua kegilaan yang tidak masuk di akalku ini, aku benar-benar tidak bisa berbicara lagi.

Di tengah kebisuanku, Mas Bagas kembali melihat ke arahku, hal yang kembali aku acuhkan karena aku tidak ingin mendapatkan keketusannya untuk kesekian kali.

"Aku setuju menikahimu karena Helena, Nura. Saat kita terikat dalam pernikahan jangan pernah menuntutku untuk adil dalam memperlakukanmu seperti aku memperlakukan Helena. Aku mencintainya sementara aku tidak mencintaimu, selain karena anak yang akan menjadi milikku dan Helena, kita tidak terikat hal apapun."

Nura, Baby For YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang