Perjanjian

3.4K 594 39
                                    

"Apa Ibu memberikan pilihan kata tidak untuk tawaran ini? Bukankah hanya kata iya yang Ibu ingin dengarkan. Ibu meminta hati dan harga diri saya sebagai balas budi kebaikan keluarga ini."

".........."

"Kuat Nura. Jangan menangis di hadapan dua orang wanita tanpa hati ini."

Berulang kali aku melafalkan kalimat ith seperti mantra, menguatkan diriku agar tidak semakin menyedihkan di hadapan dua orang yang sudah mengoyak harga diriku sebagai manusia dan wanita.

Kedua tanganku yang mengepal erat kini  setiap kukunya melukai telapak tanganku, tapi rasa sakit akibat dari kuku-ku sama sekali tidak seberapa jika di bandingkan dengan rasa sakit yang di torehkan oleh Bu Widya dan Mbak Helena.

Berbeda dengan raut wajahku yang hopeless sekarang, Mbak Helena justru menghambur ke arahku dan memelukku erat imbas dari bahagianya, tanpa peduli sama sekali jika aku bahkan tidak bergeming di tempatku.

"Terimakasih, Nura. Terimakasih sudah bersedia memberikan anak untuk Mas Bagas dan aku." Mbak Helena melepaskan pelukannya, dengan wajah sumringah tanpa dosa dia menatapku dengan pandangan berbinar penuh kebahagiaan. "Mulai sekarang aku janji, aku dan Mas Bagas akan menjagamu layaknya seorang Kakak pada adiknya, aku akan meminta Mas Bagas memperlakukanmu dengan baik agar kamu nyaman dan semuanya berjalan dengan lancar."

Omong kosong, sekarang Mbak Helena bisa berbicara demikian karena perjalanan belum di mulai, tapi wanita normal mana yang akan rela perhatian suaminya terbagi terhadap wanita lain di depan matanya? Saat hari itu terjadi, aku yakin Mbak Helena tidak akan berbicara hal yang sama.

Wanita cantik Putri Gubernur Akpol ini terus berceloteh, merancang segala hal yang akan di ambil selanjutnya, mulai dari acara pernikahan siri antara aku dan suaminya hingga banyak hal yang tidak ingin aku dengar.

Sepertinya tidak kunjung mempunyai momongan membuat Mbak Helena menjadi sedikit tidak waras, seharusnya dia di bawa ke Psikiater agar dia tidak merasa tertekan, bukannya di diamkan dan justru sekarang membenarkan sesuatu yang salah. Dan menanggapi sikap Mbak Helena yang tidak kunjung masuk di akalku ini aku memilih diam.

Aku mengiyakan permintaan gila ini hanya untuk menebus hutang budiku dan Ibu pada keluarga mereka, membayangkan Bu Widya akan membongkar makam Ibu sudah membuatku tidak karuan karena aku tahu dengan pasti beliau tidak akan segan untuk melakukannya.

Jangankan melakukan hal tersebut, menghitung semua hal semenjak aku SD saja beliau bisa.

Nura, kamu harus kuat. Kamu melakukannya untuk Ibu. Hanya alasan itu. Tidak lebih, bukan juga karena kasihan pada Mbak Helena atau untuk kelangsungan keturunan Wiraatmaja yang menganggap diri mereka superior.

"Baiklah jika begitu, Nura. Aku akan pergi memberitahukan hal membahagiakan ini pada Mas Bagas dan mempersiapkan segalanya. Semakin cepat semakin baik."

Dengan langkah riangnya putri dari seorang yang begitu terhormat itu melangkah keluar dari ruangan ini, semakin cepat semakin baik yang di maksudnya adalah mempercepat jalur ekspress neraka dunia untukku.

Kini hanya tinggal aku dan Bu Widya di ruangan ini, rasa hormat yang tertanam selama bertahun-tahun pada beliau lenyap dalam sekejap karena perlakuan beliau yang tidak manusiawi ini.

"Saya mohon Ibu menepati janji Ibu untuk menganggap semuanya lunas setelah saya menyelesaikan permintaan Ibu ini."

Senyuman sinis terlihat di wajah beliau mendengar suaraku yang sama sekali tidak sopan, sekarang sama seperti tadi, beliau mengeluarkan map lain dan mengisyaratkanku untuk duduk.

"Baca semua hal ini, bukan hanya hutangmu dan Ibumu yang saya lunaskan. Tapi kamu juga akan mendapatkan kompensasi......."

"Saya tidak mau uang Anda." Tolakku tegas. Bodoh amat di bilang tidak sopan karena memotong orangtua berbicara, setiap perlakuan beliau yang membuatku tidak menghormati beliau.

"Saya juga tidak peduli kamu mau menerimanya atau tidak. Memangnya saya punya waktu untuk memedulikan benalu sepertimu dan Ibumu, sayangnya kalian adalah benalu yang di pungut dan di pelihara oleh Suami saya." Sepertinya stok kalimat menyakitkan Bu Widya tidak ada habisnya, beliau berbicara demikian seringan beliau sedang bernafas.

"Saya hanya memastikan kamu tidak membuat masalah di kemudian hari, dengan kamu menandatangani perjanjian kita ini, seluruh hutangmu dan Ibumu akan lunas setelah kamu melahirkan bayi untuk Bagas. Ingat Nura, kamu hanya bertugas melahirkan bayi itu, bukan untuk menjadi Ibunya. Yang menjadi Ibunya adalah istri Bagas. Kamu sama sekali tidak berhak atas bayi itu."

Aku tidak bisa menahan decihan sinisku mendengar nada arogan dari Nyonya Wiraatmaja ini, sungguh aku heran, bagaimana bisa seorang baik seperti Pak Toni bisa mencintai Bu Widya ini, dari sisi mana pun sekarang aku tidak melihat kebaikan di diri Bu Widya.

"Bahkan pengorbanan seorang menantu yang rela di madu pun tidak berharga untuk Anda, Nyonya Wiraatmaja."

Aku membaca setiap aturan yang tertera, tertulis dengan jelas jika aku harus bisa memberikan bayi untuk Bagaskara. Jika di kehamilan pertama aku bisa langsung memberikannya bayi maka perjanjian selesai, tapi jika tidak maka perjanjian lanjut pada kehamilan kedua atau ketiga. Dan saat aku bisa memberikan bayi laki-laki, maka aku akan mendapatkan bonus dari pihak pertama, yaitu, Bu Widya.

Percayalah, aku benar-benar muak sekarang dengan semua sikap arogan beliau yang melebihi Tuhan ini.

Dan yang paling jelas dari pasal yang di berikan oleh Bu Widya adalah aku tidak berhak sama sekali atas bayi tersebut, bayi tersebut akan menjadi anak Bagaskara dan istrinya, dan setelah hal itu terjadi aku harus melupakan semuanya seolah tidak pernah terjadi. Bahkan sudah di sediakan fasilitas serta akomodasi jika aku ingin pergi sejauh mungkin dari keluarga Wiraatmaja. Jika aku ingin tetap tinggal di kota ini, maka aku harus menyimpan rapat semua hal ini seolah tidak pernah tidak terjadi.

Dan dari segala pasal yang menghinaku, maka semua hal itu di akhiri dengan hutang yang tadi tertera di amplop coklat akan terhapuskan, di tambah dengan sederet kompensasi yang fantastis untuk orang kecil sepertiku layaknya rumah, kendaraan pribadi, dan juga deposito dalam jumlah yang tidak main-main.

Aku mendongak, menatap Bu Widya yang sama sekali terdiam saat aku mengeluarkan sarkasku soal Mbak Helena tadi. Dan saat mata kami bertemu tatap, Bu Widya baru memberikan jawabannya.

"Helena sudah gagal menjadi seorang wanita, dia tidak bisa memberikan keturunan untuk Bagas, bagus dia sadar diri dengan menerima semuanya, jika tidak, saya tidak keberatan berganti menantu. Atau kalau dia tidak terima, dia harus pergi dari Bagas."

Kejam, dan tidak manusiawi, itu adalah kata yang pas untuk beliau. Kekejaman beliau bukan hanya padaku, tapi pada semua orang yang tidak sejalan dengan beliau.

"Anda seorang wanita, tapi begitu tega, Nyonya Wiraatmaja."

Senyuman merekah di wajah beliau mendengarkan kalimatku.

"Ya, memang saya tega. Jadi, silahkan keluar dan siapkan dirimu. Benar yang di katakan Helena, semakin cepat semuanya di laksanakan semakin baik untuk keluarga saya dan kamu."

Nura, Baby For YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang