"Bagus jika kamu tidak punya pacar, bisa kita bicara berdua, Nura."
Keringat dingin mulai muncul di dahiku mendengar perintah dari Bu Widya yang terdengar mutlak dan tidak terbantahkan. Aura seorang wanita yang powernya tidak perlu di ragukan dari beliau membuatku bergidik.
"Mama, Papa belum menyetujui apa usulan Mama dan Helena. Jangan terburu-buru."
Suara hangat dari Pak Toni yang sebelumnya terdengar saat berbicara denganku kini hilang tak berbekas, apalagi saat alis beliau terangkat tinggi penuh peringatan terhadap Bu Widya yang membalas teguran Pak Toni dengan sama tenangnya. Mas Bagas yang juga tampak hendak protes pun langsung mendapatkan tatapan tajam dari Bu Widya.
Di rumah ini siapa yang berani menentang Bu Widya? Jawabannya tidak ada. Bahkan Pak Toni kadang memilih mundur daripada berdebat dengan istrinya tersebut. Sama seperti sekarang ini.
"Di antara banyaknya orang di sekeliling kita, hanya Nura yang Papa sukai dan percaya. Lebih baik Papa dan Bagas memilih menyetujui dengan segera saja, nggak perlu kebanyakan drama. Daripada Mama nyari seseorang di luar sana yang pasti bikin Papa makin nggak setuju."
Bantuan apa sebenarnya yang ingin di minta keluarga Wiraatmaja ini padaku, dari semua raut wajah yang tidak menyenangkan untuk di pandang ini aku yakin ini bukan sesuatu yang baik.
"Aku nggak tahu lagi harus ngomong apa dengan ide ini, Len."
Suara putus asa untuk pertama kalinya aku dengar dari Mas Bagas terhadap Mbak Helena, tapi berbeda dengan Mas Bagas, Mbak Helena justru tersenyum senang dan mengusap bahu suaminya menenangkan kekhawatiran Mas Bagas yang kentara.
"Aku sebenarnya juga nggak rela, Mas. Tapi ini satu-satunya cara. Dan Nura adalah orang yang paling bisa di percaya untuk membantu kita."
Astaga, kepalaku rasanya kliyengan sekarang ini, penasaran, dan takut dengan pembicaraan yang di minta oleh Bu Widya.
Keadaan di meja makan ini sudah tidak kondusif, Bu Widya tengah berdebat dengan Pak Toni menggunakan suara rendah begitu juga dengan Mas Bagas dan Mbak Helena, sementara aku di buat kebingungan dengan semua hal yang menyebut namaku. Hingga akhirnya Mas Aditya yang sedari tadi fokus menyantap sop buntutnya mengeluarkan suara menghentikan pertengkaran ini."Sebenarnya apa sih yang kalian mau rencanain? Hal apa yang Mama mau lakukan dan butuh bantuan Nura?"
Bu Widya mendorong kursinya mundur dan menghampiriku, tatapan tajam beliau yang menyiratkan jika aku tidak boleh membantah terlihat di wajah beliau sekarang.
"Yang Mama butuhkan hanya sedikit kebaikan dari Nura, hal yang tidak akan merugikannya sama sekali. Mama rasa Nura tidak akan keberatan menolong kita, mengingat bertahun-tahun keluarga kita juga memperlakukan Nura layaknya keluarga. Dan itu bukan urusanmu Aditya. Jadi tutup mulutmu rapat-rapat." Dengan isyarat dari beliau, beliau memintaku untuk bangun, "mari Nura, kita bicara terlebih dahulu di ruangan Ibu, kamu tidak keberatan, bukan?"
❤❤❤
"Untuk pertama kalinya Ibu ingin meminta sesuatu darimu, Nura."
Perasaanku sudah tidak nyaman saat wanita yang merupakan Majikan dari Ibunya ini semakin menjadi dengan kalimat pembukaan dari beliau saat akhirnya kami berbicara di sebuah ruangan yang aku tahu merupakan ruangan kerja beliau.
Apalagi kalimat yang baru saja terucap dari beliau barusan seolah menyiratkan jika beliau tidak menerima penolakan dariku yang sudah banyak menerima bantuan dari keluarga Wiraatmaja.
Mulai dari menyekolahkan anak pembantu sepertinya, hingga menanggung biaya pengobatan Ibu walaupun kini Ibu sudah meninggal. Ya Tuhan, betapa sulitnya menjadi orang tidak punya, saat ada orang baik yang membantu kita, selamanya kita akan terikat hutang budi dengan mereka.
Di saat duka masih menyelimutiku, apalagi di dalam rumah Wiraatmaja yang setiap sudutnya masih menyimpan kenangan tentang satu-satunya orangtua yang aku miliki, Nyonya Wiraatmaja berbicara untuk menangih hutang yang beliau tanamkan padaku dan Ibu, di ruangan ini beliau tidak sendirian hanya denganku, tapi Mas Bagas yang masih setia dengan wajah masamnya lengkap bersama dengan Mbak Helena.
Aku benar-benar seperti seorang pesakitan sekarang. Hanya bisa menyerahkan semuanya pada takdir, dan berharap apapun yang di minta dariku oleh orang-orang yang sudah berjasa padaku ini bukan sesuatu yang berat untuk di penuhi.
Tapi Takdir sepertinya memang membenciku dengan sangat, segala sesuatu yang aku minta tidak pernah di kabulkan, takdir justru membawa segala sesuatu yang bertolak belakang dengan apa yang aku doakan seakan ingin menegaskan ejekannya padaku yang tidak berhak bahagia
Karena nyatanya Nyonya Wiraatmaja meminta sesuatu yang rasanya ingin membuat duniaku yang sudah gelap menjadi runtuh seketika.
"Ibu mohon, jadilah istri siri Bagas, dan berikan bayi untuknya dan Helena."
Untuk sejenak aku ingin menjadi orang yang tuli saja, orang yang tidak bisa mendengarkan apapun daripada mendengar apa yang terucap barusan. Istri siri? Seorang Bagaskara yang bahkan selalu melihatku seperti aku ini adalah kotoran di tengah lantai rumahnya yang mengkilap? Terlebih semua itu dengan tujuan agar aku bisa memberikan bayi untuk Mas Bagas dan Mbak Helena?
Inikah bantuan yang ingin di minta Mbak Helena tadi di kamar bayi?
Inikah hal yang di maksud Bu Widya sesuatu yang tidak akan merugikanku dari segi apapun?
Sesuatu yang kecil dan bagian dari balas budi atas hidupku yang di berikan oleh keluarga ini?Tidak memedulikan aku yang syok hingga tidak bisa berkata-kata, Bu Widya kembali melanjutkan ucapan bernada perintah yang tidak terbantahkan.
"Kamu bisa menjadi seperti sekarang ini berkat kami, Nura. Kamu dari kecil kami sekolahkan di tempat elite hinggap sarjana, Ibumu yang sakit-sakitan kami obatkan di rumah sakit terbaik dengan fasilitas nomor satu, sungguh tidak tahu diri jika kamu tidak mau mengabulkan permintaan saya ini setelah bertahun-tahun saya dan keluarga saya memungut kamu dan Ibumu agar tidak jadi gelandangan."
Air mataku menggenang, ingin rasanya aku menangis merasakan kesedihan dan juga rasa marah merasakan ketidakadilan yang terucap dari Bu Widya. Bukan inginku dan Ibu hidup menderita, jika bisa dan boleh memilih kami juga tidak ingin merepotkan siapapun.
"Tapi Bu, Mas Bagas seorang Perwira Polisi, mana bisa menikahi saya walaupun secara siri? Bukankah itu melanggar kode etik Instansi?" Aku menoleh pada pasangan yang ada di sebelahku, Mas Bagas yang sepertinya muak padaku ini langsung membuang muka, tapi aku ingin berbicara pada Mbak Helena. "Mbak Helena, Mbak nggak serius minta bantuan saya dalam hal ini kan, Mbak? Nggak mungkin kan Mbak rela melihat suami Mbak bersama wanita lain? Mbak boleh minta bantuan saya dalam hal apapun tapi jangan hal ini, Mbak Helena."
Aku tahu aku tidak berhak berbicara dalam hal ini, ini adalah saat keluarga Wiraatmaja menagih hutang mereka padaku, tapi membayangkan semua hal menyakitkan yang akan aku terima jika aku harus membayang hutang budi dengan hati, aku tidak bisa diam saja.
Tapi sepertinya tidak kunjung mempunyai momongan membuat Mbak Helena tidak bisa berpikir jernih, karena jawaban yang dia berikan membuatku semakin putus asa.
"Justru karena orang itu kamu, aku rela, Nura. Bagas tidak akan tertarik padamu, itu pasti. Tidak apa Bagas menggauli-mu demi anak, tapi aku yakin dia tidak akan bermain hati denganmu karena kamu sama sekali tidak menarik untuknya. Berbeda dengan wanita di luar sana yang mungkin saja akan membuat suamiku ini tertarik."
"............. "
"Dan yang paling penting, aku yakin kamu bukan seorang yang akan mampu menyingkirkan posisiku di hati Mas Bagas."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nura, Baby For You
RomanceAttention. Cerita ini hanya fiksi belaka yang terinspirasi dari beberapa kejadian di sekeliling kita. Kesamaan nama tokoh, latar belakang cerita, dan kejadian, hanyalah kebetulan semata. "Untuk pertama kalinya Ibu ingin meminta sesuatu darimu, Nu...