Permintaan II

3.4K 564 37
                                    

"Justru karena orang itu kamu, aku rela, Nura. Bagas tidak akan tertarik padamu, itu pasti. Tidak apa Bagas menggaulimu demi anak, tapi aku yakin dia tidak akan bermain hati denganmu karena kamu sama sekali tidak menarik untuknya. Berbeda dengan wanita di luar sana yang mungkin saja akan membuat suamiku ini tertarik."

"............. "

"Dan yang paling penting, aku yakin kamu bukan seorang yang akan mampu menyingkirkan posisiku di hati Mas Bagas."

Tatapan mata itu begitu yakin padaku, seolah harapan besar dan kepercayaan yang sudah mencapai titik teratas dari keputusasaan yang tidak menemui jalan terangnya.

Sungguh tidak masuk di akalku dimana seorang istri meminta dengan terang-terangan dan terbuka meminta seorang wanita lain untuk menjadi madu suaminya, bahkan berterus terang mengatakan jika dia tidak keberatan suaminya menggauli wanita lain demi keturunan.

Dan yang membuatku semakin menggelengkan kepala adalah ucapan dari Mbak Helena yang mengatakan jika alasan dia tidak khawatir terhadap suaminya untuk menikahiku secara siri karena yakin Mas Bagas tidak tertarik denganku.

Ya, tentu saja Mas Bagas tidak akan tertarik denganku sementara di sisinya ada wanita secantik Mbak Helena, tapi di sini, harga diriku sebagai wanita tercabik-cabik hingga tidak ada nilainya. Semuanya hanya mementingkan diri mereka masing-masing dengan tujuannya, lalu bagaimana aku sebagai manusia dan wanita?

"Maksud Mbak, Mbak mau pinjam rahim saya untuk bayi tabung Mbak?" Aku masih berusaha berpikir positif, mengabaikan kalimat menggauli yang sangat menggangguku tersebut, sungguh satu kata tersebut benar-benar mengoyak hati dan harga diriku.

Aku sudah panik setengah mati dengan hati yang kocar-kacir tidak menentu dengan keadaan ini, aku pun berharap jika pikiran positifku atas ucapan Mbak Helena benar terjadi, tapi berbanding terbalik dengan senyum yang tersungging di wajah cantik tersebut, ucapan Mbak Helena semakin membuatku kehilangan harga diri.

"Bukan meminjam rahimmu, Nura. Tapi aku meminta dirimu mengandung anaknya Mas Bagas." Duuuaaarrr, pwtir terasa menyambar kepalaku, jika saja ada kaca di depan wajahku pasti aku bisa melihat bagaimana pucatnya wajahku sekarang. "Rahim dan sel telurku tidak bagus, Nura. Itulah yang buat semua usaha IVF kami berdua tidak berhasil. Jika bukan anakku, setidaknya itu adalah anak Mas Bagas, maka itu adalah anakku juga."

Suara erangan terdengar dari Mas Bagas mendengar ucapan gila dari istrinya yang terucap tanpa beban ini, ini yang di bicarakan anak loh, Mbak Helena ini berbicara dengan  begitu ringan hanya memikirkan dirinya dan Mas Bagas, lalu diriku?

"Helena? Hentikan pemikiran gilamu ini. Kenapa kita harus melakukan ide gila ini sementara kita masih bisa melakukan banyak usaha? Kamu pikir aku sanggup melakukan semua hal itu?"

Bukan hanya aku yang keberatan, Mas Bagas ternyata masih punya sedikit otak untuk tidak memenuhi permintaan gila Ibu dan istrinya ini. Jika Mbak Helena tidak memikirkan perasaanku sebagai manusia, aku harap Mas Bagas bisa menjernihkan otak istrinya yang sudah geser ini.

"Kamu harus bisa, Mas Bagas! Kamu tahu dengan benar bagaimana kondisiku, rahimku lemah, sel telurku lemah, lengkap dengan kista. Hanya 5% aku bisa hamil sementara sudah berapa banyak usaha kita. Percayalah, Mas. Selama itu adalah anakmu, aku tidak keberatan. Lakukan ini demi masa depan kita, tidak mungkin aku dan kamu hidup berdua tanpa anak selamanya."

"Aku tidak keberatan hidup berdua hanya denganmu, Helen. Kita bisa adopsi anak..... "

Gelengan keras kepala justru di dapatkan Mas Bagas lengkap dengan sentakan dari Mbak Helena sekarang mendengar penolakan yang terus menerus di ucapkan oleh Mas Bagas. "Adopsi, adopsi!!! Aku tidak mau anak orang lain, jika itu bukan anakku dan anakmu, setidaknya itu anakmu. Aku hanya menginginkan hal itu, Mas. Titik! Apa sulitnya aku bikin aku bahagia sih Mas. "

Mas Bagas menarik rambutnya kuat, rasa frustasi yang sama seperti yang aku rasakan tergambar jelas di wajahnya yang tampan, tidak ingin suasana semakin memanas ternyata Mas Bagas memilih berdiri bersiap meninggalkan ruangan ini.

"Helena, sekarang terserah padamu. Aku menyerah dengan keras kepalamu. Jika satu waktu nanti egoismu ini menjadi bencana aku tidak bertanggungjawab."

Dan blammmm, pintu ruang kerja Bu Widya ini tertutup dengan keras penuh amarah dari Mas Bagas yang meninggalkan ruangan ini dan juga istrinya yang nampak kecewa, tidak tahu kecewa karena Mas Bagas tidak mengiyakan apa permintaan Mbak Helena, atau karena peringatan yang membuat bulu kudukku meremang tersebut.

Mbak Helena segera menghampiriku lagi, meraih tanganku dan kembali menggenggamnya. "Jangan pikirin, Mas Bagas. Aku akan mengatasinya, Nura. Tapi Mbak benar-benar minta tolong padamu tentang hal ini, aku dan Mama sudah rembukan panjang lebar dan menurut kami berdua inilah opsi yang paling bagus untuk menjaga keturunan dan masa depan keluarga Wiraatmaja."

Kenapa Mbak Helena dan Bu Widya ini begitu sulit mengerti jika di sini bukan hanya mereka yang manusia, tapi aku juga.

"Tapi Mbak, bagaimana dengan masa depan saya? Mbak apa nggak berpikir tentang hal itu? Mbak mengizinkan suami Mbak bersama wanita lain demi punya anak, lalu bagaimana dengan saya? Istri siri untuk orang yang tidak saya cintai dan mencintai saya....... "

Aku ingin sekali mengungkapkan segala keberatan yang aku rasakan pada setiap kepala yang ada di hadapanku sekarang agar mereka tahu jika apa yang mereka minta tidak sesederhana seorang yang meminta di titipkan satu barang, tapi yang di minta adalah anak.

"Masa depan mana yang kamu bicarakan, Nura? Masa depan setelah anak Bagas lahir? Masa depanmu akan terjamin, Nura." Bu Widya yang sedari tadi diam kini mulai membuka suara kembali.

"Kamu hanya perlu memberikan saya Cucu, melahirkannya dan memberikannya pada Helena dan Bagas sebagai anak mereka. Sesudah itu terserah kamu mau pergi kemana urusan sudah berakhir, toh status kamu juga masih perawan karena nikah siri, di jaman milenial sekarang perawan atau tidak bukan masalah yang penting. Masalah finansial saya akan memberikan banyak uang yang tidak akan pernah bisa kamu bayangkan jumlahnya, dan jika kamu mau saya bisa carikan kamu suami, itu juga bukan masalah. Apa lagi yang kamu khawatirkan tentang masa depanmu?"

Kalian tahu bagaimana menjadi aku sekarang di depan dua orang yang sama wanitanya ini? Rasanya seperti aku diminta untuk telentang di atas lantai dan kaki mereka menginjak-injak wajahku dengan kaki mereka yang penuh kotoran. Bu Widya dan Mbak Helena menggampangkan semuanya bahkan seolah menganggapku bukan manusia.

Dari ucapan panjang Bu Widya, tidak ada sedikit saja belas kasihan untukku. Aku hanya di nikahi siri, di buat hamil, di ambil anaknya, dan di tendang pergi? Bukankah itu terdengar seperti sampah? Jika sampah saja bisa di daur ulang, maka harga diriku yang hancur tidak bisa di perbaiki lagi.

"Maaf, Bu Widya. Tapi saya tidak bisa." Cicitku pelan, suaraku terasa tercekat, tenggorokanku seperti tercekik dengan semua ucapan tidak manusiawi ini. Rait wajah Mbak Helena seketika menjadi mendung mendengar apa yang aku ucapkan, tidak tega rasanya aku melihat wajah kecewa tersebut, tapi aku benar-benar tidak mau melakukan hal ini. Banyak hal pasti akan berubah setelah pernikahan yang walaupun hanya siri terjadi, baik dalam hidupku, atau dalam hidup semua orang yang terlibat.

Apapun akan aku lakukan, tapi tidak dengan hamil anak Bagaskara, seperti yang di katakan Pak Toni lagi, aku merasakan aku berhak menolak permintaan Bu Widya yang tidak masuk akal dan tidak manusiawi ini. Aku sudah bersiap untuk pergi meninggalkan ruangan kerja Bu Widya saat Bu Widya memberikan sebuah map padaku.

"Jika kamu ingin pergi dan menolak permintaan tolong saya, lebih baik kamu lihat ini dahulu."

Nura, Baby For YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang