Baby For You (19)

5.4K 624 17
                                    

"Nggak usah protes, Mas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Nggak usah protes, Mas. Kan sudah aku bilang, bukan. Biasakan dirimu dengan perhatianku mulai dari sekarang, toh suka atau nggak suka aku itu istrimu. Perkara kamu mau bilang aku cari perhatian, aku tidak peduli karena aku hanya menjalankan kewajibanku sebagai istrimu."

".......... "

"Walaupun hanya istri sementara dan di manfaatkan."

Senyuman kecil yang terlihat mengejek tersungging di bibir pria masam tersebut mendengar apa yang aku ucapkan, Mas Bagas memang tidak menepis apa yang aku perbuat, tapi dia tidak akan melewatkan untuk berucap pedas terhadapku.

"Ucapanmu kayak orang paling tersakiti di dunia ini, Ra. Kamu korban dan aku adalah pelaku. Padahal kamu juga tahu bagaimana usahaku menolak semua hal ini."

Aku mengangkat bahuku acuh, memilih memijit kepalanya, sebagai seorang pria, aku baru sadar jika rambut Mas Bagas bahkan lebih lembut dari rambutku, pria yang kini menatapku lekat ini tampak bersih walaupun lelah untuk ukuran seorang pria yang di sibukkan dengan tugas di kedinasannya. "Nyatanya aku memang yang di rugikan, Mas. Di suruh hamil, dan di saat anaknya sudah ada, aku nggak ada hak. Di bagian mana aku di untungkan? Coba katakan, di sebelah mana aku untung dalam pernikahan ini denganmu? Memilikimu tidak bisa, memiliki anakku juga tidak berhak."

Aku bisa mendengar Mas Bagas menghela nafasnya panjang, persis beberapa saat lalu seperti orang yang sedang menelan kembali masalahnya, aku ingin mendengar jawaban dari Mas Bagas atas apa yang aku ucapkan, tapi bukan jawaban yang aku dapatkan, pria ini justru bangkit dengan cepat hingga membuatku terkejut dan nyaris saja hidungku terantuk hidungnya yang mancung.

Untuk kedua kalinya aku berdekatan dengan Mas Bagas dalam jarak sedekat ini semenjak insiden di mobil, dan mengingat ciuman pertamaku lengkap dengan pelakunya yang seperti serigala kelaparan dalam mendapatkannya membuat pipiku semerah tomat busuk sekarang, terasa panas tanpa bisa aku kendalikan.

Dan konyolnya Mas Bagas seperti tahu apa yang ada di kepalaku, kekeh geli yang terdengar dari Mas Bagas membuatku dengan cepat ingin beringsut mundur, sayangnya pria ini pun juga semakin maju ke arahku lengkap dengan senyum menggodanya yang membuatku mau tidak mau salah tingkah, heeeiii selama ini aku tidak pernah dekat dengan pria, di tatap dari jarak sedekat ini tentu saja aku salah tingkah, nyaris saja aku terjungkal dari kursi kecil yang aku duduki jika Mas Bagas tidak menahan pinggangku.

Tidak ingin berakhir konyol reflek aku meraih kerah kemeja Mas Bagas untuk berpegangan, degupan jantungku semakin keras saat aku merasakan tangan tersebut meraih pinggangku semakin dekat, jika saja tidak ada punggung sofa yang memisahkan kami mungkin kejadian di mobil akan terulang untuk kedua kalinya dalam format yang sama.

Tenggorokanku terasa kelu saat melihat wajah Mas Bagas yang cengengesan, dia tampak begitu menikmati aku yang sedang salah tingkah terhadapnya, sisi lain Mas Bagas yang biasanya hanya akan keluar saat bersama Mbak Helena kini muncul di hadapanku, dan tanpa bisa aku cegah aku turut tersenyum melihatnya menunjukkan sisi hangat manusiawinya yang tidak melulu ketus.

"Wajahmu merah kayak tomat, apa yang sedang kamu ingat, Ra? Ingat ciuman di mobil?"

Duuuarr, tanpa basa-basi Mas Bagas langsung menembakku dengan pertanyaan yang langsung membuatku memukul dadanya dengan kesal, hal yang membuat Mas Bagas justru tertawa keras melihatku mencak-mencak. Tidak bisakah dia tidak membicarakan hal memalukan tersebut?

"Apaan, nggak ada! Kejadian mobil di mana? Aku nggak ingat!" Elakku tidak mau mengakui, gengsi sekali aku mengakui hal yang membuatku mati kutu dan kehilangan muka.

Tawa Mas Bagas semakin menggelegar memenuhi ruang santai keluarga ini, selama aku berada di rumah ini, aku tidak pernah mendengarnya tertawa selepas sekarang.

"Ternyata kamu tidak terlalu menyebalkan seperti yang aku kira, Ra."

Dan ternyata Mas Bagas pun tidak sebatu yang aku pikirkan, dia memang seorang yang keras, tapi saat kita bisa tahu di mana sisi yang bisa kita sentuh, pria ini tidak terlalu buruk. Selama ini apakah aku salah menilainya? Apa ternyata aku yang tidak mengenalinya? Semua hal itu aku ucapkan dalam hati, jika dia mendengarnya mungkin dia akan besar kepala.

Di tengah pikiranku yang berkecamuk tentang sosok Bagaskara yang berbeda ini, tiba-tiba saja hal yang tidak aku sangka terucap darinya, sesuatu yang terdengar bijaksana dan membuatku mempunyai harapan untuk

"Nggak perlu mikirin segala hal yang akan terjadi kedepannya, kita nggak pernah tahu apa yang terjadi besok atau pun lusa."

Seperti terhipnotis dengan suara Mas Bagas yang tidak seperti biasanya, aku mengangguk pelan, mengiyakan apa yang dia katakan. Dan tanpa aku sangka, sebelah tangannya yang tidak memegang pinggangku terangkat, menyentuh puncak kepalaku seperti seorang Ayah yang senang anaknya mau mendengarkan ucapan dari Ayahnya.

"Nice, Nura! Teruslah jadi anak baik seperti sekarang ini."

Senyuman muncul di wajah Mas Bagas, sama seperti suaranya yang berubah menghangat, wajahnya yang biasa masam dan tertekuk, senyuman yang kini muncul di wajahnya kini juga tampak berbeda, senyuman yang nampak tulus dan berasal dari hatinya, bukan senyuman sarkas, seringai, atau mengejek seperti yang biasanya dia berikan padaku.

Waktu seakan berhenti berputar sejenak, menyisakan aku dan pria yang tidak aku sangka aku sebut sebagai suamiku sekarang. Saling menatap dan menyelami satu sama lain melalui pandangan mata, selama ini aku selalu menilai Mas Bagas seorang yang tidak tergapai, pria dingin dan tidak tersentuh yang sangat menyakitkan saat berbicara. Tapi takdir justru menyeret kami berdua untuk bersama dalam satu hubungan pernikahan.

Degupan jantungku yang sudah berdetak keras sedari tadi kini semakin menggila sekarang, perasaan aneh menjalar di perutku, kekecewaanku atas Mas Aditya tadi siang seolah bukan masalah.

Tidak, perasaanku tidak bisa berubah secepat ini kan? Jika terus seperti ini, bukan Mas Bagas yang jatuh padaku, tapi aku yang justru akan jatuh lebih dahulu padanya.

Bagaimana aku akan menuntut keadilan yang tidak aku dapatkan dari keluarga ini jika aku kalah dengan perasaanku sendiri?

"Apa yang kamu lihat sekarang, Ra? Kamu baru sadar betapa gantengnya putra sulung Wiraatmaja ini?"

Ucapan penuh percaya diri Mas Bagas membuatku tersentak, aku baru  menyadari jika aku baru saja larut dalam pesona pangeran Wiraatmaja ini, dengan cepat aku beringsut mundur menjauh darinya, hal yang membuat Mas Bagas tampak heran dengan perubahanku yang cepat.

Tidak, aku tidak boleh jatuh hati pada anggota keluarga Wiraatmaja. Aku tidak boleh mengharapkan atau menggantungkan harapan apapun terhadap keluarga yang menuntut balas setelah mereka memberikan pertolongan.

"Aku siapkan air hangat untuk mandi dulu, Mas."

Nura, Baby For YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang