Keluarga Wiraatmaja

3.8K 587 5
                                    

Nura Aisya, itu adalah nama yang tersemat padaku, nama sederhana tanpa embel-embel nama belakang keluarga seperti kebanyakan para orang-orang.

Yah, jangankan menyematkan nama Bapak di namaku, beliau saja tidak pernah memedulikan aku maupun Ibu, sedari kecil aku tidak pernah mendapatkan usapan sayang dari beliau atau hadiah kecil untuk hal yang bisa aku raih.

Sosok seorang Ayah yang konon katanya merupakan cinta pertama setiap anak perempuan tidak berlaku padaku, Ayah adalah sosok patah hati pertamaku. Masih aku ingat dengan jelas bagaimana Ibu yang memohon dan mengiba pada Ayah agar tidak pergi dari rumah meninggalkan beliau dan aku, sayangnya Ayah justru dengan mudahnya menyentak tangan Ibu dan berlalu begitu saja, sementara Nura kecil hanya terdiam terpaku melihat Ibu menangis tersedu-sedu.

Meneteskan air mata beliau dengan begitu deras untuk seorang pria yang menjandakan istrinya demi janda yang lain, lucu memang jika di ingat, Bapak tidak pernah menjadi sosok yang baik untukku, tapi dengan mata kepalaku sendiri beliau berusaha keras menjadi Ayah yang baik untuk anak orang lain.

Satu kali aku pernah mencari Bapak, berusaha menemui beliau usai pulang sekolah agar beliau pulang dan agar Ibu tidak terus bersedih saat bekerja di keluarga Wiraatmaja, masih mengenakan seragam putih merah SD anak kelas 4, naik angkot berbekal alamat yang di berikan teman Bapak yang berbaik hati mau memberitahuku, dan seingatku, itu adalah kali terakhir aku bersumpah untuk mau bertemu dengan sosok yang sebenarnya tidak ingin kusebut Bapak.

Hatiku terasa perih saat melihat Bapak turun dari motornya di sore hari, membawa sekantung makanan cepat saji yang bahkan tidak pernah beliau belikan untukku dan Ibu, rumah yang kini menjadi tempat tinggal Bapak dengan wanita yang menjadi penghancur kebahagiaan Ibu pun jauh berbeda dengan rumah kami dulu, dulu sebelum Ibu membawa aku ke rumah Wiraatmaja, kontrakan rumah kami hanya satu petak dan sesak, kamar mandi pun satu bersama dengan penghuni lain, tapi lihatlah apa yang di berikan Bapak pada mereka.

Sebuah rumah yang layak, makanan yang enak, dan senyuman yang tampak begitu bahagia di wajah Bapak yang tidak pernah beliau berikan padaku. Masih aku ingat dengan jelas hari itu, bagaimana sosok gadis kecil yang seusia denganku menyambut Bapak dengan senyuman bahagia, memamerkan wajahnya yang berseri saat Bapak memberikan satu plastik penuh makanan yang di bawa Bapak.

Dunia Nura hancur saat itu. Benar-benar menjadi kepingan kecil yang tidak bisa di satukan lagi saat melihat betapa manisnya Bapak memperlakukan anak tersebut dan Ibunya.

Bahkan untuk seorang anak kecil berusia 10 tahun pun aku bisa merasakan ketidakadilan di dunia ini, patah hati pertama dan terparahku adalah karena ulah Bapak. Seorang yang seharusnya membuatku jatuh cinta, justru yang menorehkan luka dan air mata yang mengalir deras.

Aku dan Ibu tidak pernah menuntut apapun dari Bapak, Ibu selalu mencari uang sendiri sebagai tukang masak dan bersih-bersih di rumah Bos Besar Perusahaan Baja, tapi Bapak bukannya senang malah memilih membuang kami dan bekerja keras demi orang lain.

Sejak hari itu aku bersumpah, aku tidak akan pernah mencari Ayahku lagi, menganggapnya tiada, dan Nura hanya mempunyai Ibu seorang saja. Belajar dengan giat, membantu Ibu, dan berusaha keras mengubah nasib kami adalah tujuan hidupku.

Sayangnya takdir memang tidak suka melihatku bahagia, saat akhirnya aku bisa mengenakan toga kelulusan, Ibu yang sakit-sakitan justru tiada, pengobatan yang di berikan oleh keluarga Wiraatmaja yang begitu banyak berjasa untukku di sebuah rumah sakit terbesar dan terbaik di Kota ini, tidak bisa memberikan kesembuhan untuk sosok paling berharga untukku.

Hampir 6 atau nyaris satu tahun aku tidak datang ke rumah Wiraatmaja, rumah milik seorang dermawan bernama Bapak Toni Wiraatmaja, beliau adalah sosok malaikat sejati untukku dan Ibu, tanpa beliau mungkin aku dan Ibu akan terlunta-lunta di jalanan. Bukan aku tidak mau datang karena tidak tahu balas budi seperti yang di ucapkan oleh Mas Bagas, putra sulung keluarga ini, tapi rumah Wiraatmaja menyimpan banyak kenangan tentang Ibu di setiap sudutnya, di mulai dari usiaku 10 tahun hingga aku 22 tahun, tentu bukan waktu yang sebentar untuk menorehkan memori tentang rumah ini.

Tapi sekian waktu berlalu aku meninggalkan rumah Wiraatmaja dan belajar hidup mandiri, tapi hari ini Mas Bagas menjemputku di kantor, berkata jika Pak Toni mengundangku, aku ingin tahu kenapa Bapak memanggilku, tapi saat aku ingin mencari tahu, aku justru terjebak dengan Nyonya Muda Wiraatmaja yang menyampaikan kesedihannya karena tidak kunjung mendapatkan buah hati.

Yah, hidup memang tidak selamanya adil, setiap orang juga mempunyai kesedihannya sendiri. Untuk orang sesempurna Mbak Helena dan Mas Bagas, mereka juga punya masalah yang membuat merana.

Hanya penyemangat yang bisa aku berikan pada Mbak Helena, sama seperti aku yang menyemangati diriku sendiri.

Aku mungkin sudah tidak punya siapa-siapa, aku juga tidak pernah merasakan hangatnya keluarga yang lengkap, tapi satu harapan terselip di setiap doaku, tidak muluk-muluk, cukup aku ingin bahagia dan merasakan mempunyai keluarga yang lengkap dan menyayangiku, seorang yang bisa membuatku di cintai dan di sayangi, pelipur luka atas duka yang di torehkan oleh Bapak.

"Nura, mungkin kamu bisa bantuin Mbak."

Ucapan Mbak Helena membuatku mengernyit tidak mengerti, memangnya apa yang bisa di bantu anak pembantu sepertiku? Terlebih untuk hal yang berkaitan dengan anak? Oooh, mungkin Mbak Helena ingin aku membantu soal pekerjaan, agar dia bisa lebih fokus pada program hamilnya dan tidak terganggu dengan hal lain.

"Memangnya bantuin apa, Mbak? Jika bisa Nura akan membantu."

Secercah senyum muncul di wajah cantik yang sekarang tampak begitu antusias ini mendengar kesanggupanku, memangnya aku bisa mengatakan tidak pada anggota keluarga Wiraatmaja? Tentu saja aku tidak bisa menolak apa yang di minta oleh mereka, hutang budi atas kebaikan keluarga ini tidak akan pernah sanggup aku balas.

Mungkin sampai aku mati, aku tidak akan pernah bisa membalas semua kebaikan mereka, dan sekarang salah satu anggota keluarga ini meminta sesuatu dariku, hal yang tidak bisa aku tolak, tapi cukup membuatku waswas.

Mbak Helena meraih tanganku, wajahnya yang tadi mendung kini tampak begitu berbinar, membuatku semakin penasaran dengan apa yang dia inginkan dariku, dan terang saja aku merasa apapun yang di minta Putri Gubernur Akpol ini bukan sesuatu yang mudah aku iyakan.

"Helena, Nura. Papa nungguin kalian dari tadi, dan ternyata kalian berbicara di sini. Ayo segera turun."

Helaan nafas lega tidak bisa terhindarkan saat Pak Toni tiba-tiba muncul, senyuman hangat khas seorang Ayah yang pengertian beliau terbit di wajah yang mulai senja tersebut. Apalagi saat melihatku yang menyalami beliau, beliau adalah seorang dermawan berhati malaikat untukku. Tapi berbeda dengan biasanya, ucapan ambigu beliau saat aku hendak berlalu mengikuti Mbak Helena membuatku bertanya.

"Nura, saat berbicara dengan Ibu, katakan tidak jika kamu tidak menyetujui permintaannya, ya."

Nura, Baby For YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang