Siang

409 84 5
                                    

"Hoaaammm..."

Baek Rang menguap sembari meregangkan badannya, terlihat seperti orang yang sedang kejang-kejang. Untungnya ia hanya tinggal sendiri, jadi tidak ada seorang pun yang melihat.

'Jam berapa sekarang?' Batinnya melihat ke arah jam dinding.

12.34 siang.

Ah, sepertinya baterai jam rumahnya itu sudah rusak. Ia harus segera membelinya.

Beranjak dari kasur, Baek Rang berjalan ke kamar mandi untuk mencuci muka. Lalu pergi ke arah kulkas untuk memeriksa makanan apa yang tersisa.

Air mineral dan sederet kotak buah stroberi. Hanya itu. Ia menghela nafas, nasib orang miskin.

Padahal cacing di dalam perutnya sudah berdemo agar diberi makan.

Tok tok tok...

"Hei, Baek Rang! Buka pintunya! Kau ini sudah bangun belum, sih?"

Bibi Dalram!

Baek Rang rasanya ingin menangis. Pasti bibi Dalram akan memberinya makanan gratis lagi.

Dengan sigap ia membuka pintu rumahnya, namun tidak bisa terbuka.

"Bibi Dalram, tolong aku! Bagaimana ini? Aku terkunci!" Serunya panik sambil menarik-narik pintu paksa.

"Hei, bodoh! Buka dulu kuncinya"

"..."

Oh, ya, benar...

Bodoh.

Cklek

Pintu pun terbuka, menampilkan raut wajah masam dari bibi Dalram.

Sentilan maut menerjang dahi Baek Rang yang terdapat bekas luka. Membuatnya mengaduh kesakitan.

"Aduh, bibi! Sakit, tahu!"

"Makanya dilihat-lihat dulu sebelum berteriak! Dasar anak bodoh satu ini!" Sungut bibi Dalram kesal.

"Iya-iya, astaga. Aku tahu aku salah, tidak usah marah begitu!" Rengut Baek Rang mengusap dahinya. Sakit sekali.

"Sedang apa bibi kesini pagi-pagi? Biasanya juga saat menjelang makan siang baru keliling," Tanyanya.

"???" Bibi Dalram seketika memasang raut wajah menghakimi.

"'Pagi-pagi' katamu? Hei, lihat jam berapa! Ini sudah hampir jam satu!"

"Eh?"

Jam satu? Berarti jamnya tadi tidak kehabisan baterai?

Ia meringis kikuk.

"A-ah, sudah hampir jam satu?... Ahahaha, sepertinya jamku sedang rusak"

"Ck, kalau tahu jammu sedang rusak, segera perbaiki!" Sekali lagi, bibi Dalram menyentil dahi Baek Rang.

"Sudahlah. Bibi tahu kau belum makan, jadi makan ini saja. Ingat! Jangan keseringan mengonsumsi ramen! Awas saja kalau ketahuan sekali lagi, bibi bilang ke paman Sontaek untuk membuat surat biaya sewamu"

Ancamnya dengan jari telunjuk mengarah ke Baek Rang.

"Aih, aku paham-aku paham. Sana-sana, di sini panas. Bibi ke bawah saja!" Usir Baek Rang mendorong badan wanita paruh baya itu.

"Kau ini terang-terangan sekali mengusirnya! Lepas! Tanpa kau suruh pun bibi juga akan turun. Makan yang benar, kalau lapar datang saja ke rumah. Bibi pergi dulu"

"Hhh... iya-iyaaaaa"

Bibi Dalram pergi menuju tangga. Meninggalkan Baek Rang di bawah teriknya sinar matahari.

STREET LIGHTS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang