Semburat arunika memboyong suasana temaram di penjuru Nusantara, sedikit demi sedikit arloji sakana klasik berdecak mengikuti alunan seirama wilayah perbatasan nuansa yang kian mencekam.
Malam itu, tepat dalam sebuah rumah berukuran minimalis, Jefri masih bercokol pada orang tuanya yang telah lama menanti kehadiran mereka, akan tetapi baru hari ini kesampaian.
Siska yang sejak sore tadi meninggalkan rumah karena mengajak para anak-anak ke sebuah tempat permainan, membuat Jefri harus menghadap ayah dan ibunya di ruang tamu. Pembahasan seputar kejadian janggal belakangan hari pun mereka ingin pertanyakan, kehadiran sosok wanita bergaun pengantin kerap muncul dan melintas di area rumah.
"Jefri," panggil wanita paruh baya itu dengan tatapan penuh keseriusan.
"Iya, Bu. Ada apa?" tanya Jefri sembari menoleh netra lawan bicara sekilas.
"Bagaimana hubungan pernikahanmu dengan Siska, apakah dia tahu kerjaan rumah?" Mirna pun membahas masa lalu itu, ucapannya kali ini penuh selidik.
"Ya, gitulah, Bu. Alhamdulillah, sekarang istri saya bisa membereskan pekerjaan rumah."
"Oh, syukurlah kalau begitu," tambah sang ibu.
"Emang kenapa, Bu?" Jefri balik nanya.
"Enggak, kalau memang kamu butuh pembantu. Biar ibu saja yang membereskan segala pekerjaan rumah kamu, lagian ... di sini ibu juga enggak ada kerjaan. Tiap hari selalu kangen denganmu, Nak."
Mendengar pernyataan itu, Jefri menarik napas panjang. Perasaannya menjadi mendadak kasihan pada sang ibu, apalagi dia sebentar lagi akan pergi keluar kota karena urusan kantor, sudah pasti tidak ada yang akan menjaga anak-anaknya di rumah.
Pemuda berkumis tipis itu memutar otaknya untuk kembali berpikir keras, sementara Siska—istrinya juga akan pergi keluar kota beberapa bulan demi pekerjaan. Keadaan pun semakin membuat Jefri sangat bingung harus berbuat apa, untuk menitipkan kedua anaknya pada orang lain, dia merasa sangat ragu.
Pembicaraan mendadak hening, Jefri tak tahu harus memberi jawaban apa. Pasalnya, kepergian itu tidak dalam satu atau dua hari bisa kembali, kalau permasalahan kantor belum tuntas, mereka tetap menjalani pemeriksaan perihal kasus penggelapan uang beberapa hari lalu dia alami.
"Jadi begini, Bu, saya akan pergi keluar kota untuk urusan kantor. Sementara istri saya, akan keluar kota juga untuk urusan bisnisnya, bagaimana kalau anak-anak tinggal bersama Ibu," titah Jefri menjelaskan.
"Bisa saja, Jef. Tapi ... apakah istrimu setuju, untuk menggendong anak-anakmu saja, ibu tidak diperbolehkan." Wanita paruh baya itu menadahkan tatapan.
"Nanti biar saya yang ngomong sama Siska, Bu. Karena, saya berniat akan membeli rumah di sekitar sini. Untuk tempat tinggal Ibu dan Bapak, agar tidak tinggal di rumah kumuh ini lagi." Jefri pun menatap plafon yang mulai retak dengan cat tak lagi berwarna putih, dia merasa sangat kasihan pada orang tuanya.
"Kamu atur aja, Jef. Ibu dan bapak cuma mengikut."
Pemuda berkumis tipis itu hanya mengangguk seraya menyandarkan badan di kursi sofa, sementara ibunya pun pergi ke dapur entah melakukan apa. Jefri dan sang ayah masih duduk berdua sedari tadi, tanpa ada sepatah kata terlontar dari lelaki tua renta itu.
Lamat-lamat, wajah sang ayah terlihat semakin aneh. Netra pun terbelalak ketika mendapati lekuk pipi lelaki di hadapannya bertambah pucat seperti tak memiliki aliran darah, sementara badan yang kian mematung—semampai dengan tatapan sejurus menuju sebuah kamar.
Hiruk pikuk pun hadir setelahnya, kejanggalan rumah tersebut membuat Jefri sangat penasaran dan gemetar hebat. Pasalnya, sejak kedua kakinya menapak ke halaman rumah, burung kedasik tak henti-hentinya berkoar. Bahkan kecipak air keran juga berbunyi tanpa henti dari dalam kamar mandi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Kutukan
HorrorSetelah tragedi lima belas tahun yang lalu, membuat arwah pengantin korban mutilasi kembali muncul. Arwanya pun gentayangan hingga menginginkan seorang pemuda-beristri untuk dijadikan suaminya.