HARTA HANYALAH HIASAN DUNIA SEMATA

44 3 0
                                    

Dengan mengendarai taksi, Jefri pun pergi ke sebuah bandara Kualanamu, dia berniat akan menyusul sang istri dikediaman kedua orang tuanya. Dengan langkah yang kian limbung, membuat pemandangan seakan kabur dari netra. Sedangkan otak masih berkutat perihal pertanyaan mendatanginya secara bertubi-tubi.

Sore itu, selepas pulang dari kantor. Jefri mendudukkan badan di atas kursi tunggu, seraya menanti penerbangan selanjutnya untuk menuju Kota Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat. Tujuan dan tekad pun sudah bulat. Mungkin sang istri membutuhkan kasih sayang lebih dari seorang suami.

Tanpa membawa koper berisikan baju ganti, Jefri pun melintasi koridor. Speaker pemberitahuan sudah berbunyi, mereka memberikan aba-aba pada penumpang yang hendak terbang sore itu. Tanpa berpamitan pada orang tua, Jefri berpegang teguh pada janjinya dulu untuk mempertahankan Siska apa pun keadaannya.

Tepat di sebelah kiri, seorang wanita dengan rambut sepinggang itu terlihat sangat aneh. Berpakaian serba putih dan sangat lusuh, sementara wajahnya pun tampak tersayat benda tajam dengan meneteskan darah. Lamat-lamat, Jefri menoleh sekilas. Namun, wanita yang sedang menadah itu tak menghiraukan siapa pun.

Tanpa ada yang menyenggol, sebuah botol berisikan air mineral terjatuh dan menggelinding mengenai kaki Jefri sebelah kanan. Kemudian, lelaki beranak dua itu mengambil botol tersebut dan menyodorkannya pada sang pemilik.

"Ma-maaf, Bu, ini minumnya."

Sang pemilik tak menghiraukan perkataan itu, siluet sosok tersebut tetap menadah ditimpali darah yang keluar dari sayatan wajah. Padahal di sekitar tempat duduk sangatlah ramai, akan tetapi orang-orang tampak tidak peduli dan simpati padanya.

"Bu, ini minumnya. Tadi terjatuh," tambah Jefri lagi.

"I-iya, Pak, terima kasih," jawab wanita itu terbata-bata.

"Sama-sama, Bu. Oh, ya, kalau boleh tahu ... mau pergi ke mana, ya?" tanya Jefri penasaram.

"Saya ingin pergi ke Kota Batusangkar, Pak."

"Wah, kebetulan sekali kalau begitu. Saya juga akan pergi ke sana," titah lelaki berusia 29 tahun itu.

Lawan bicara mengangguk dua kali, tak sepatah kata pun mampu dia ucapkan untuk menjawab. Karena jiwa kian gelenyar, akhirnya Jefri mencoba untuk menatap lebih dekat lawan bicara. Darah yang keluar dari wajah wanita itu mengeluarkan bau busuk seperti bangkai. Namun, Jefri tidak mau menyinggung dan suudzon tentangnya.

"Bu, itu pesawatnya sudah tiba. Enggak masuk?" tanya Jefri seakan mengajak.

Wanita di samping kanan pun hanya menggeleng, kemudian dia menjawab, "duluan aja, Pak, saya sebentar lagi."

"Oh, kalau begitu saya naik duluan."

Tanpa ada balasan dari perkataan, sebuah sentuhan lembut mendarat di pundak sebelah kanan, Jefri pun memutar badan dengan menatap kembali kursi yang baru persekian detik dia tinggalkan. Tepat dalam posisi sejurus, wanita tadi telah tiada. Seorang satpam pun melintas dengan membawa pemukul berwarna hitam.

"Pak," panggil Jefri singkat.

"Iya, Pak, ada apa, ya?" tanyanya.

"Saya mau nanya, wanita yang tadi ada di sini ke mana, ya?"

Satpam itu pun menggaruk kepalanya, lalu dia berkata sangat serius, "perasaan saya dari tadi melintas di area sini, tapi enggak ada siapa pun di bangku itu. Oh, ya, tadi juga saya sempat melihat Bapak bicara sendiri."

"Apa! Enggak mungkin, soalnya saya tadi berbincang pada wanita itu. Nah, botol minuman beliau juga masih berdiri di bangkunya," jelas Jefri meyakinkan.

Pengantin KutukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang