Dengan langkah seribu, Jefri menemui anaknya yang telah terbujur tanpa nyawa. Nestapa menyergap seisi ruang pasien. Pasalnya, orang yang sedang berada satu kamar menghampiri keluarga kecil Jefri. Isak tangis tak terbendung olehnya, cengkeraman kedua tangannya membuat sprei berantakan.
"Radit ... bangun, Nak. Ayah ada di sini, bangun Sayang ...!" Jefri berteriak sembari merangkul Radit—anaknya.
"Jef, kamu yang sabar. Anak kamu sudah tenang bersama Allah, Nak." Mirna pun mengelus pundak Jefri yang tak mampu membentung air matanya.
"Pak, yang sabar. Mungkin Allah lebih sayang pada anak Anda, biarkan dia kembali bersama Sang Maha Pencipta."
"Tapi saya belum mau kehilangannya, kenapa bukan saya saja yang mati hari ini!?" Jefri kembali memekik dan menaikkan nada suara.
Dokter yang saat itu berbaris di sepanjang tempat tidur, ikut merasakan duka nestapa. Mereka tak mendapati kalau Radit—pasien mereka telah mengembuskan napas untuk selama-lamanya. Padahal, para dokter baru saja meninggalkan pasien itu. Namun, Tuhan secepat embusan angin dalam mengambil tiap nyawa manusia.
Tanpa ada satu pun yang mampu bergeming, seisi kamar pasien hanya tertegun dan menatap Jefri berteriak tanpa henti. Sementara Mirna dan Aurel, masih mencoba untuk membangunkan Radit—adiknya.
"Adik Radit, bangun, Dik. Kakak enggak mau tinggal sendirian di rumah," rengek Aurel seraya menyentuh pipi kanan adiknya itu.
"Nduk, jangan diratapi Adikmu. Ikhlaskan kepergiannya, Allah lebih sayang padanya, Nduk," titah Mirna.
"Tapi, Nek ...."
"Sayang ... jangan buat Adikmu tidak tenang di sana," jelas Mirna menengahi.
Suara mobil ambulan terdengar memasuki ruang pasien. Para perawat yang kala itu mengikuti Jefri, membawa jenazah menuju kediaman. Di sepanjang jalan menuju halaman rumah sakit, para pasien dan pengunjung lainnya menggerompok menatap kesedihan Jefri.
"Pak, biar kami saja yang membawa jenazah ke rumah," ucap perawat berseragam serba putih.
"Enggak usah! Biar saya yang bawa anak saya di mobil ini, kalian jangan halangi saya," pungkas Jefri membungkam kedua perawat rumah sakit itu.
"Sudah biarkan saja dia membawa anaknya," sahut dokter di sebelah kanan.
Kedua perawat itu mengangguk dua kali, mereka hanya menatap Jefri yang sedari tadi menangis tanpa henti. Tak terbendung lagi kesedihan dalam hidupnya. Setelah kepergian Fernando—sahabatnya, kini anak lelaki semata wayangnya juga ikut pergi bersama ironi dari Sang Maha Pencipta.
Mirna pun menggendong jenazah Radit di bangku belakang, ditemani oleh Aurel—kakaknya Radit. Sementara sang ayah, masih menyopir dengan tingkat kecepatan luar biasa. Tubuh lelaki berusia 29 tahun itu seperti tak terkendali lagi, yang ada dalam benaknya adalah ingin secepatnya sampai rumah.
"Jef, jangan ngebut-ngebut bawa mobilnya, Nak," ujar Mirna dengan nada suara tak lagi netral.
"Biar saja, Bu, kalau perlu aku mati di jalanan ini."
"Astaga, Jef! Kamu ingat Allah, Nak. Kalau kamu saja yang mati ibu tidak masalah, tapi kalau Aurel ikut mati bagaimana?" hardik Mirna spontan.
Mendengar ucapan itu, Jefri pun mengurangi laju mobilnya, dia menoleh menuju wajah Aurel yang masih menangisi sang adik. Dengan penuh rasa bersalah, Jefri akhirnya kembali fokus dan menatap mantap Jalan Lintas Sumatra. Air mata kembali menetes melalui lekuk pipi dan membasahi leher.
Di tengah perjalanan, ponsel pun berbunyi beberapa kali. Namun, Jefri tak mau mengangkat panggilan itu. Tak berapa lama, ponsel berdering lagi, lalu Jefri menatap layar ponselnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Kutukan
HorrorSetelah tragedi lima belas tahun yang lalu, membuat arwah pengantin korban mutilasi kembali muncul. Arwanya pun gentayangan hingga menginginkan seorang pemuda-beristri untuk dijadikan suaminya.