Malam itu, Jefri hanya merenung dalam kamarnya. Potret kilas balik terputar kembali perihal ucapan sang istri yang di dengar beberapa waktu lalu, mereka bertiga bercokol di rumah kedua orang tuanya seraya menceritakan keadaan rumah tangga.
Perseteruan mereka membuat Jefri tak tahu harus melakukan apa. Padahal, dia sengaja datang ke rumah itu untuk menjemput—Siska—istrinya yang meninggalkan sang suami dan buah hati.
'Siska, kenapa kamu menangisi segalanya. Kamu harusnya bertahan dengan rumah tanggamu, Jefri adalah laki-laki yang sudah kau pilih.'
'Ma ... yang sabar kalau memberikan nasihat untuk anaknya, lika-liku rumah tangga sudah pasti ada, dan itu wajar.'
'Ayah bagaimana, sih, masalah begini dibilang wajar. Gini, ya, Siska, kalau kamu sudah tidak betah hidup dengan Jefri, mulai detik ini cerai saja sama dia. Kamu masih cantik, laki-laki di luar sana masih banyak yang mau sama kamu!'
'Bu, kalau memberikan nasihat, jangan seperti itu. Perceraian adalah perbuatan yang paling dibenci Allah, tidak baik menjerumuskan anak sendiri menuju neraka.'
'Tapi, Pah, Jefri itu sekarang sudah miskin. Utangnya 2 miliar pada orang lain, kalau Siska—anak kita tetap melanjutkan rumah tangganya. Mau makan apa? Batu!'
Menggunakan kedua tangan, Jefri menekan wajahnya dan menyibak air mata yang kala itu beringsut sejurus dari lekuk pipinya. Tak berapa lama, tiupan semilir angin datang dari balik jendela, gorden putih tampak bergoyang akibat terpaan itu.
Dengan suasana sedikit temaran, lelaki yang mengenakan kaos putih itu berjalan menuju balkon lantai dua. Di setiap pojok telah ada dimar ublik menyalakan semburat lentera kekuningan, bahkan cahayanya seakan mewakili suasana hati Jefri.
Dari atas balkon, Jefri membuang tatapan menuju halaman rumah, tepat pada kerlingan sejurus, pohon-pohon pagar bergoyang. Namun, tidak seperti terkena tiupan angin biasa, karena sedikit kencang dan membuat jiwa kian gelenyar. Nirada bersama kabut hitam bergerak anggun ke sana dan ke mari, seakan ingin mengajak Jefri untuk segera keluar dari rumah.
Dengan langkah seribu, Jefri pun keluar kamar seraya menuju pusat tatapan. Dalam posisi tertegun, lelaki beranak dua itu celingukan dan memantau secara saksama. Akhirnya, Jefri tak lagi bergeming dan beringsut menuju pepohonan di sepanjang taman.
Suara tangisan mendayu-dayu hadir secara tiba-tiba, ditimpali hiruk pikuk suasana sekitar sangatlah riuh. Padahal, lokasi rumah tidak ada siapa pun, bahkan—Diman dan Aryo—penjaga pos hanya mendengarkan musik menggunakan earphone masing-masing.
Sekelebat penglihatan, netra pun sejurus pada pohon bunga kantil di samping taman, bayangan hitam seperti orang berlari tampak jelas.
"Siapa itu!" teriak Jefri ngegas.
Perkataannya tidak disambut dengan sebuah jawaban, akan tetapi suara-suara seperti orang yang tengah menapak tak kunjung berhenti. Rasa penasaran terus menghujani, ditimpali suasana dingin mencekam sekujur tubuh. Jefri pun beringsut sangat lambat menemui pohon bunga kantil itu, dia menatap mantap area sekitar untuk sekadar memastikan.
Sebuah sentuhan mendarat tepat di pundak Jefri. Telapak tangan yang dingin, lembap, dan berair itu membuat gemetar sekujur tubuh. Sementara kuku-kuku panjang makhluk itu bergerak sejurus dari pangkal leher hingga kepala.
Spontanitas, Jefri menoleh ke belakang badannya dan memekik, "siapa itu!"
Masih dalam posisi celingukan, dia membatin, 'kok, enggak ada siapa-siapa di sini. Atau jangan-jangan sekadar halusinasiku saja kali, ya?'
"Tolong ...." Teriakan pun terdengar dari dalam rumah.
'Suara siapa itu?' tanya Jefri bersenandika, lalu dia memutar badan menuju balkon lantai dua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Kutukan
HorrorSetelah tragedi lima belas tahun yang lalu, membuat arwah pengantin korban mutilasi kembali muncul. Arwanya pun gentayangan hingga menginginkan seorang pemuda-beristri untuk dijadikan suaminya.