"Aurel dan Radit, ayah pergi dulu, ya." Jefri pun berpamitan kepada kedua anaknya seraya mengecup kening masing-masing.
"Ayah emang mau ke mana?" tanya Aurel bingung.
"Bekerja, Sayang. Kan, ayah udah satu minggu main sama kalian. Nanti ayah bisa dipecat kalau lama-lama liburan," paparnya seraya memberikan pandangan.
"Baiklah, Yah. Kalau pulang bawa boneka yang cantik buat Aurel," pungkas gadis berusia 6 tahun itu.
"Kalau Mamas Radit, mau minta mainan apa?"
"Mamas mau mobil-mobilan yang bisa jadi robot, Yah!" jawabnya lantang.
"Siap! Bos. Laksanakan," respons Jefri seraya membuang senyum simpul.
"Terima kasih, Yah. Hati-hati," sahut mereka serempak.
"Jangan nakal sama nenek, jangan nakal di rumah. Kalau pergi ke sekolah, tunggu Bi Darmi yang antar dan jemput, oke," titahnya lagi.
"Kami enggak akan nakal, Yah ... lagian ada tante yang jagain kita."
Deg—
'Tante? Perasaan Aurel membahas soal tante terus dari kemarin. Yang dimaksudnya siapa, ya? Soalnya, di sini enggak ada perempuan muda selain ibu mereka.'
Dalam posisi tak bergeming, pemuda berusia 29 tahun itu tertegun seraya merumuskan pertanyaan yang datang dari pernyataan kedua buah hatinya. Perkataan Aurel dan Radit sangat membuat Jefri penasaran untuk mengetahui sosok yang sering di sebut 'Tante' karena dia belum pernah melihat siapa gerangan orang tersebut.
"Papa ... ayo, kita pergi sekarang. Entar telat, loh!" teriak sang istri dari ambang pintu.
"I-iya, Ma, bentar." Jefri pun mengelus rambut kedua anaknya dan pergi menemui Siska—istrinya.
Setibanya dia di depan pintu, mobil travel telah datang dan menunggu. Dengan berjalan sedikit kencang, mereka memasukkan koper-koper beserta perlengkapan lainnya. Ketika di dalam mobil, lelaki berkumis tipis itu kembali membuka jendela kaca seraya mengerlingkan netra pada putra dan putrinya di ambang pintu.
Nestapa menerpa jiwa keduanya, meskipun ini bukan kepergian yang pertama buat mereka, akan tetapi tetap menyisakan bekas luka ketika dulu diasuh oleh pembantu lama. Mereka mendapatkan penyiksaan karena rewel di rumah. Dengan berat hati, akhirnya Jefri menutup jendela dan menatap sang istri di posisi samping kiri.
"Pak, ayo, jalan," ucap Jefri kepada sopir di posisi depan.
"Baik, Pak." Sopir pun merespons singkat.
Di sepanjang perjalanan menuju perkotaan, Jefri diruntuk was-was. Entah apa yang membuatnya begitu gelisah, dia merasa tak tenang meninggalkan kedua anaknya di rumah meskipun bersama sang ibu. Bukan dia tidak percaya pada wanita berhati mulia itu, karena kepergiannya diwarnai tanda tanya besar seputar ucapan 'Tante' yang sering disebut-sebut oleh Aurel—putrinya.
"Papa, kenapa gelisah gitu, sih?" tanya sang istri, sedari tadi dia hanya berdandan saja.
"Eng-enggak, Ma. Ini, loh, perasaan aku enggak enak ninggalin kedua anak kita di rumah."
Siska pun menoleh sejurus ke arah sang suami, kemudian dia membalas, "udahlah, Pah ... enggak usah dipikirin. Lagian kita pergi bukan untuk liburan, tetapi demi masa depan mereka."
"Iya ... aku ngerti itu, tetapi tetap aja. Yang namanya orang tua meninggalkan anak pasti ada rasa kasihan, kalau kamu mungkin enggak merasa seperti itu," pungkas Jefri seraya membuang tatapan.
"Maksudnya? Mama enggak punya perasaan gitu?" tanya Siska bertubi-tubi.
Lelaki tampan yang mengenakan jas hitam itu membungkam, dia seakan tak bisa meneruskan percakapan, kerena sang istri akan bertambah aneh jika dilawan terlalu jauh. Sebagai seseorang yang terlahir dari keluarga miskin, Jefri selalu berada dalam kendali sang istri. Meskipun sekarang dia telah menjabat sebagai direktur Bank Swasta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Kutukan
HorrorSetelah tragedi lima belas tahun yang lalu, membuat arwah pengantin korban mutilasi kembali muncul. Arwanya pun gentayangan hingga menginginkan seorang pemuda-beristri untuk dijadikan suaminya.