MALAM PERTAMA DI RUMAH BARU

159 10 0
                                    

Arloji sakana klasik menunjukkan pukul 18.00 WIB. Kala itu, Jefri dan istrinya membuka acara televisi. Netra pun tercengang dengan sebuah tulisan berwarna merah menyatakan kematian Daniel Hanon Subroto. Secara saksama, pasangan suami dan istri itu membuka stasiun khusus berita terkini.

"Pah, ada kecelakaan di Medan?" tanya Siska penasaran.

"Iya, Ma. Paling juga orang mabuk," jawab Jefri sekenanya.

"Coba buka dulu beritanya, mama mau lihat."

Jefri pun membuka berita terkini yang tersedia di stasiun televisi khusus, mereka tercengang setelah mendapati mobil sport berwarna merah telah menabrak tiang listrik di Jalan Lintas Sumatera, Simpang Limun, Medan. Korban adalah seorang direktur yang saat ini telah menjabat di luar negeri.

"Pah, kok, mobil itu seperti yang baru saja menjual rumah ini?" tanya Siska penasaran.

"Ah, ngaco aja kalau ngomong. Jelas-jelas beliau baru pulang dari rumah ini. Mana mungkin dia tabrakan," pungkas Jefri seraya menatap mantap isi berita.

Lamat-lamat, akhirnya Jefri pun percaya kalau orang tersebut adalah Daniel—penjual rumah yang saat ini dia beli, karena dari koper hingga pakaian korban tampak jelas dilengkapi dengan inisial DHS. Secara saksama, netra sepasang suami—istri itu pun saling tukar tatap seraya celingukan.

Setelah beberapa jam menonton televisi, listrik di rumah tersebut tiba-tiba padam. Aurel dan Radit yang berada di atas lantai dua menjerit ketakutan, mereka pun menggedor pintu kamarnya.

"Papa ... Mama ...!" teriak Aurel dan Radit secara serempak.

(BATAS)

Dengan langkah limbung, Jefri dan sang istri pun melompat dari atas sofa dan berlari menaiki anak tangga lantai dua. Setibanya di kamar dengan tulisan 303, mereka tertegun seraya celingukan. Suara kedua anaknya tak terdengar lagi. Pasalnya, Aurel dan Radit telah pergi sejak sore bersama neneknya di warung penjualan es krim.

"Pah, yang teriak tadi siapa, ya?" tanya Siska sembari membulatkan netranya.

"Enggak tahu, 'kan, anak kita lagi pergi sama ibu." Jefri pun celingukan karena tak tahu harus berkata apa.

"Ya, udah, kita masuk aja ke kamar. Mungkin mereka udah pulang, tapi kita yang enggak melihat," ujar sang istri menengahi.

"Kita cek sama-sama." Jefri pun membuka pintu kamar menggunakan tangan kanan.

Sprei bernuansa serba putih tidak lusuh dan berantakan, sementara kedua anaknya pun tidak ada dalam kamar itu. Langkah kaki yang semakin gontai, membawa mereka pada sebuah lukisan di pojok kamar. Wanita cantik berbusana adat itu tersenyum meskipun suasana kamar sedikit temaram, sementara jendela balkon terbuka sangat lebar.

"Mama, kalau sudah sore jendelanya ditutup!" seru Jefri ngegas.

"Ta-tadi, udah mama tutup, kok," titah Siska terbata-bata.

"Tapi kenyataannya belum, jangan ngawur kalau ngomong." Sang suami pun menaikkan satu nada suaranya.

"Kenapa, sih, belakangan ini Papa suka nyalahin mama. Padahal, cuma perkara sepele aja." Siska pun membungkam percakapan, kemudian dia pergi meninggalkan sang suami dalam kamar.

"Tuh, kalau dibilangi seperti itu. Enggak ada nurut-nurutnya sama suami. Padahal kalau sudah magrib jendela terbuka, setan-setan masuk dengan gampang," omelnya sendiri dalam kamar tersebut.

Setelah sang istri keluar, hiruk pikuk terdengar bersama semilir angin. Ventilasi menghadirkan nuansa yang nyaman dan damai, padahal di ruangan itu sangatlah temaram seakan tak ada yang bisa dilihat. Namun, dalam sekelebat pemikiran, sebuah telapak tangan mendarat di pundaknya.

Pengantin KutukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang