KEMATIAN DEMI KEMATIAN TERJADI BERSAMA IRONI

45 2 0
                                    

Pagi itu, tepat di kediaman Fernando—sahabat sekaligus orang yang telah dianggap saudara kandung oleh Jefri. Mengembuskan napas terakhir akibat kecelakaan maut di Jalan Lintas Sumatra, Simpang Limun, Medan. Jenazah baru saja tiba dini hari, dan akan segera dilaksanakan fardu kifayahnya.

Duka nestaga masih menyelimuti sanak saudara dan orang-orang terdekat, termasuk Jefri yang kala itu baru saja tiba seraya memarkirkan mobilnya tepat pada halaman rumah korban tabrakan.

Dengan langkah sedikit limbung, lelaki berusia 29 tahun itu menggerompok pada sanak saudara yang sudah dia kenal sejak duduk di bangku SMA.

Pasalnya, Jefri dan Fernando sama-sama terlahir dari keluarga miskin dikalangan satu sekolah. Mereka bertekad untuk mencapai cita-cita menjadi seorang pengusaha ataupun pimpinan pada pekerjaan nantinya. Tercapai. Ya, mereka mencapai itu semua. Namun, ironi berkata lain.

Selepas Fernando memberikan uang 1 miliar pada Jefri untuk sekadar membantu orang yang paling berjasa dalam hidupnya, penopang karirnya, hingga punya usaha di luar negeri, kini telah pergi untuk selama-lamanya.

Kematian adalah takdir, tetapi takdir mereka tengah dipecundangi oleh sang waktu. Lamat-lamat, orang di sekitar Jefri meninggalkannya secara perlahan. Bahkan kematian pembantu-pembantu di rumahnya juga masih menjadi sebuah misteri.

Hal itu tak mampu Jefri singkap, dia hanyalah orang yang tak tahu-menahu perihal persekutuan pada iblis seperti yang Ustaz Hasbi katakan, beberapa hari silam.

Dengan membawa foto kenangan masa SMA ketika mereka sempat berjanji pada semesta di kala senja, terpatri persahabatan itu kini telah musnah. Bahkan keluarga Fernando telah menganggap Jefri layaknya abang kandung untuk putra semata wayang itu.

Tangis mendayu-dayu masih terdengar dan menyergap. Bu Ningsih—selaku orang tua dari almarhum—merangkul tubuh Jefri dari awal kedatangannya di rumah.

Tangisan beliau pecah di pundak lelaki beranak dua itu. Lalu, sentuhan lembut Jefri pun merayap di pundak wanita berusia senja itu.

"Bu, yang sabar. Ini adalah cobaan dari Allah, kita harus ikhlas melepaskan Fernando." Jefri mencoba untuk menenangkan di posisi bersimpuh.

"Kenapa bukan saya saja yang mati, Nak. Umur saya sudah layak menghadap ironi itu, mengapa malah yang masih punya hidup panjang pergi dengan cara terpaksa." Ningsih melepas pelukan itu, dia kembali menatap Jefri dan menyibak air mata yang bergerak sejurus dari leluk pipi sahabat terbaik—putranya.

"Jefri bukan mau menggurui semua ironi dan peristiwa. Karena jika ini terjadi pada saya, mungkin Jefri tidaklah setegar Ibu sekarang. Tetapi ... yang namanya kematian adalah hakiki, semua sudah menjadi ketentuan, ke mana pun kita pergi. Enggak pandang bulu, usia, takhta, dan jabatan."

Dari posisi samping kanan, Susi—tantenya Fernando menyambar, "benar, Bu. Yang dikatakan Jefri ada benarnya, kita harus ikhlas untuk melepas ini semua. Karena kalau kita terus berlarut, akan mempersulit jalannya menuju surga."

Selesai melaksanakan fardu kifayah, mereka pun memboyong jenazah dengan menggunakan keranda ditutupi tabir bernuansa serba hijau. Sementara Jefri membawa gagar mayang di tangan kanannya.

Kematian Fernando adalah gugurnya umat yang terbilang masih lajang, sehingga untuk menuju ke makam, gagar mayanglah pertanda dari kematian, bahwa korban masih berstatus belum menikah.

Teman-teman pada masa SMA turut hadir mengebumikan jenazah dengan tubuh yang telah terpisah menjadi beberapa bagian. Tepat di pemakaman umum, Kota Medan, menjadi rumah terakhir untuk Fernando—sahabat mereka.

"Selamat jalan Fer, semoga Allah mengampuni segala dosa-dosamu dan menerima amal ibadahmu."

"Teman-teman, sosok yang paling kita kagumi telah pergi menghadap Allah. Kalau kalian masih ada masalah dengan beliau, bisa datangi saya. Insyaallah ... segalanya akan saya bantu menyelesaikan." Dengan lantangnya, Jefri berkata.

Pengantin KutukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang