Keesokan harinya, Jefri dan sopir taksi kembali melanjutkan perjalanan yang sempat tertunda. Mereka pun menelusuri Kota Batusangkar, Tanah Datar, Sumatra Barat. Belum lama berkendara, mereka tiba di sebuah gapura dengan portal bertuliskan selamat datang. Tanpa basa-basi, sopir menginjak gas dengan netral dan memasuki kawasan.
Kampung yang terkenal sangat bersih itu telah terlihat di pelupuk mata, orang-orang pejalan kaki masih lalu lalang untuk berbelanja kebutuhan. Pagi ini terlihat cerah, semburat arunika seakan menjilat kulit manusia, yakni alam semesta. Sepertinya cuaca sangat bersahabat untuk membiarkan para penduduk bumi menjalankan aktivitas. Padahal, sejak kemarin, seisi kota telah diguyur gerimis.
Bunga-bunga bermekaran, seperti tengah berjalan di musim semi, dengan suhu udara yang tak terlalu panas dan tidak terlalu dingin. Tetapi perihal suasana hati, Jefri masih merasakan duka nestapa. Kepergian Siska—istrinya itu membuat isi kepalanya berkecamuk untuk merumuskan keputusan singkat yang dia ambil.
Semudah itu dia meninggalkan Jefri—suaminya. Padahal rumah tangganya sedang genting seperti sekarang ini, lelaki beranak dua itu membutuhkan sosok inspirasi, penyemangat, bahkan ketulusan sang istri dalam menjaga komitmen yamg mereka utarakan tepat pada saat ijab kabul. Namun, apa boleh buat.
Semua sudah terjadi dan nasi telah berubah menjadi bubur. Bagaimanapun manusia bekerja keras untuk mengembalikan, tetap tidak bisa selain merenungi segalanya.
Belum lama memasuki gang berukuran lumayan kecil, taksi pun kepayahan untuk menerobos jalan tersebut. Akhirnya, sopir yang mengenakan seragam serba kuning itu berhenti sejenak. Lamat-lamat, dia membuang senyum simpul dan menoleh ke belakang.
"Pak," panggilnya singkat.
"Ah, iya, Pak. Ada apa, ya?" tanya Jefri.
"Sebelumnya mohon maaf, karena taksi saya tidak bisa masuk ke dalam gang. Soalnya ... sempit sekali," paparnya memberikan penjelasan.
"Oh, begitu, ya, Pak. Baiklah, saya turun di sini saja, biar saya berjalan kaki menuju rumah mertua."
"Sekali lagi saya minta maaf, Pak. Karena ... tidak bisa mengantar sampai depan rumah," titahnya sangat lirih.
"Tidak masalah, Pak, lagian ... ini bukan salah Bapak, memang jalannya yang terlalu sempit. Kalau begitu, saya pergi dulu, Pak. Assalammualikum ...," sapa Jefri sembari menyodorkan beberapa uang kertas.
"Wa'alaikumsallam ... zaman sekarang, masih ada lelaki yang setia seperti Pak Jefri itu. Istri kabur dari rumah saja, dia tampak sangat sedih. Memang lelaki yang patut dicontoh." Selesai berkata sendiri dalam taksi, sopir itu beringsut keluar dari gang.
Melalui jalan yang hanya dapat dilalui motor, Jefri pun menelusuri beberapa rumah dengan bangunan lumayan besar. Sekitar lima tahun lamanya dia tidak menginjakkan kaki ke tempat itu, bahkan pada saat hari besar dan liburan, karena mereka sama-sama sibuk mengejar material bangkai dunia.
Kurang lebih 20 menit berjalan, akhirnya Jefri sampai di depan rumah dengan cat dinding berwarna putih. Perasaan sangat senang dia rasakan kala itu, ternyata tidak terlalu banyak perubahaan pada bangunan, sehingga dengan mudah Jefri bisa menemukan lokasi yang dituju.
Sesampainya di depan teras pintu rumah yang telah terbuka lebar, hiruk pikuk terdengar seperti orang tengah menangis merayap melalui indra pendengaran. Suara mendayu-dayu itu seperti tidak asing, siapa lagi kalau bukan Siska—istrinya. Lamat-lamat, Jefri beringsut dari teras dan melangkah dua tapakkan ke depan.
Ternyata, Siska dan orang tuanya bercokol di ruang tamu seperti tengah membentuk sebuah forum pembahasan. Karena Jefri tidak enak untuk menerobos, dia pun tertegun dan mendengarkan sejenak pengaduhan sang istri pada kedua orang tuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Kutukan
HorrorSetelah tragedi lima belas tahun yang lalu, membuat arwah pengantin korban mutilasi kembali muncul. Arwanya pun gentayangan hingga menginginkan seorang pemuda-beristri untuk dijadikan suaminya.