Subuh telah menyingsing, semburat arunika memboyong keindahan hari pertama di Kota Jakarta. Dengan menggunakan taksi, Jefri pun menuju kantor sebagai tempat yang disepakati beberapa minggu lalu, demi meluruskan masalahnya perihal kasus penggelapan uang.
Penampilannya pun sangat rapi, di tangan kanan telah ada tas berwarna hitam dipenuhi surat-surat untuk menguatkan kasus tersebut. Dengan menghela napas berat, dia menetralisir suasana hati yang sedang dilanda ketakutan sepanjang hari. Pasalnya, Jefri mendadak mendapatkan teror aneh seiring masalah yang kian muncul tanpa ada penyelesaian.
"Pak, kita ke kantor nusantara komputindo," suruh Jefri sembari meletakkan tasnya di samping kanan.
Akan tetapi, sopir hanya terdiam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Bahkan untuk mengangguk sebagai isyarat dan perwakilan melalui bahasa tubuh, pemuda yang mengenakan seragam biru itu hanya fokus menatap depan.
Karena Jefri tak ingin berpikir yang aneh-aneh perihal gelagat sopir itu, kerlingan netra pun sejurus pada ambang jendela. Tepat di sebelah kiri, dia mendapati sebuah penglihatan tak lazim, banyak orang-orang di sepanjang trotoar seperti para korban mutilasi. Bagian tubuh mereka masing-masing terpisah beberapa bagian, ada yang kehilangan netra, kepala, dan satu kaki.
Kemudian, tatapan pun Jefri buang kembali menuju depan, napas yang kian ngos-ngosan ditimpali pikiran tak lagi netral. Padahal hari itu masih pagi, tak mungkin jika hantu berkeliaran di tengah semburat arunika menjilat bumi semesta.
Sesampainya di lampu merah, mereka pun berhenti beberapa saat, menunggu lampu itu kembali hijau. Suara ketukan terdengar lembut dari samping kiri, Jefri pun menoleh dengan perlahan. Ketika kerlingan dia buang, seorang lelaki tanpa kepala pun tertegun di sana, sementara darah—keluar sejurus dari leher membasahi bajunya.
"Pak, bisa tinggalkan tempat ini enggak?" tanya Jefri mendesak.
Sopir pun tak menjawab, akan tetapi dia menggeleng sebagai isyarat bahasa tubuh.
'Orang ini kenapa, ya? Kok, dari tadi enggak mau ngomong sama sekali. Atau jangan-jangan dia bisu lagi?' tanya Jefri bersenandika.
"Kamu lagi ngomongi saya bisu?" tanya sopir itu dengan lantangnya.
Deg—
Mendengar ucapan yang terlontar sangat lantang itu, Jefri menggeser posisi duduknya sedikit menepi ke arah kiri. Di sepanjang jalan lintas, hiruk pikuk terdengar seakan semakin ramai. Orang-orang tanpa kepala seakan memenuhi jalanan, kemudian pemuda berkumis tipis itu berzikir dalam hati.
Belum pun dia berzikir sepuluh kali, taksi telah berhenti tepat di depan bangunan sepuluh lantai di atasnya. Netra pun terbelalak mendapati keanehan pada hari itu, seakan halusinasi mempermainkan jalan hidupnya.
"Enggak keluar, Pak?" tanya sopir di posisi depan.
"Ah, i-iya, Pak. Saya akan segera keluar," respons Jefri sembari menyodorkan beberapa uang kertas dari posisi belakang.
"Ongkosnya lempar aja, Pak." Sopir itu menyuruh Jefri untuk melakukan hal yang tak baik. Akan tetapi, Jefri tak memedulikan ucapan itu dan dia menyenggol pundak sopir beberapa kali.
"Saya tidak mungkin melempar uang ini, Pak," jelas Jefri sembari menyenggol pundak sopir.
Lamat-lamat, pemuda yang menyopir taksi pun putar badan. Wajahnya telah dipenuhi belatung dan darah bercampur nanah membasahi area leher hingga dada.
"Hantu ...!" teriak Jefri sembari membuang uang kertas di atas kursi.
"Pak, mana hantunya?" tanya sopir itu sangat penasaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Kutukan
HorrorSetelah tragedi lima belas tahun yang lalu, membuat arwah pengantin korban mutilasi kembali muncul. Arwanya pun gentayangan hingga menginginkan seorang pemuda-beristri untuk dijadikan suaminya.