"Siapa kau!" pekik Narto menaikkan nada suaranya.
"Kau tak perlu tahu siapa aku, untuk apa mengikuti urusan yang bukan urusanmu."
"Jangan pernah menggangu pemilik rumah ini, atau kau akan aku binasakan." Narto pun membaca ayat kursi seraya menutup netranya secara bersamaan.
"Percuma bacaan itu kau ucapkan, aku tidak akan bisa lenyap dari bumi ini. Hi-hi-hi ...." Sosok itu terkekeh-kekeh setelah mendapati seseorang yang mengancamnya.
Setelah beberapa menit membaca ayat kursi, Narto masih melihat bahwa sosok wanita bertubuh semampai dengan pakaian serba hitam itu tetap dalam posisinya. Dalam sekali semburan, sosok gaib tersebut membuang ludahnya mengenai wajah Narto.
Dengan rasa perih luar biasa di sekujur wajah, membuat lelaki paruh baya itu keluar dari kamar mandi bersama tapakkan limbung. Tak pernah dia duga sebelumnya, bahwa makhluk itu ternyata kebal dengan ayat suci alquran.
Sesampainya di ruang tamu, Narto membanting badannya tepat di hadapan Jefri. Akibat dari rasa sakit yang berlebihan itu, dia pun beringsut meninggalkan lokasi tanpa memberikan salam kepada orang-orang seisi rumah.
"Pak Narto! Kamu kenapa, Pak?" tanya Jefri seraya berlari keluar rumah.
Dari ambang pintu, sopir taksi itu melaju dengan kecepatan tinggi, dia seakan tak memedulikan bahwa di halaman terdapat permadani tanaman cantik. Dengan ditemani Mirna—ibunya, Jefri pun tertegun tatkala mendapati penglihatan aneh itu.
"Jef, orang itu kenapa pergi tanpa pamit gitu, ya?" tanya Mirna penasaran.
Jefri pun menaikkan pundaknya secara saksama, kemudian dia membalas, "Jefri juga enggak tahu, Bu. Tadi dia keluar dari kamar mandi sangat ketakutan, lalu terjatuh di lantai, dan keluar rumah sangat buru-buru."
"Atau jangan-jangan—" Mirna menggantung ucapannya.
"Jangan-jangan apa, Bu?" tanya Jefri bertubi-tubi.
"Sudahlah, lupakan saja. Yuk, kita masuk lagi. Anak-anak kamu sudah menunggu di kamar."
Mereka berdua memasuki rumah dan menutup pintu sangat rapat. Jefri yang kala itu sedang rindu berat pada kedua anaknya, memasuki kamar dengan nomor 303. Dalam sekelebat penglihatan, Aurel dan Radit sedang bergembira memainkan benda-benda yang tampak masih baru itu.
"Sayang ...," sapa Jefri sembari mendudukkan badan di atas dipan.
"Eh, Ayah. Sejak kapan pulang, Yah?" tanya Aurel.
"Radit kangen sama Ayah." Selesai berkata dengan lirih, Radit memeluk sang ayah di posisi depan.
Dengan penuh kelembutan, Jefri memperlakukan kedua anaknya seperti seorang raja. Karena untuk mendapatkan keduanya, dia harus rela menjual rumah untuk biaya persalinan.
Radit adalah anak yang manja dibandingkan Aurel, meskipun dia seorang lelaki. Namun, dalam prinsip kehidupan, sang ayah tak mau terlalu memanjakan keduanya, agar kelak mereka bisa hidup mandiri tanpa ketergantungan pada orang tua.
"Kemarin ayah di telepon, katanya kalian sakit. Emang sakit apa anak ayah?" tanyanya.
"Sakit?" Radit dan Aurel pun menjawab serempak sembari mendongak, kemudian mereka membuang tatapan bingung.
"Iya, kata nenek kalau kalian lagi sakit. Makanya ayah enggak sempat beli mainan buat kalian," titah Jefri menjelaskan.
Kemudian, Mirna pun datang sambil membawa susu hangat, wanita tua itu meletakkan nampan di samping nakas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Kutukan
HorrorSetelah tragedi lima belas tahun yang lalu, membuat arwah pengantin korban mutilasi kembali muncul. Arwanya pun gentayangan hingga menginginkan seorang pemuda-beristri untuk dijadikan suaminya.