RUMAH DI PESISIR PANTAI SEJARAH

137 9 0
                                    

Pagi yang indah tepat di perbatasan antara Kota Lima Puluh dan Kabupaten Batubara, semburat arunika menjilat alam semesta meskipun ditimpali gerimis halus. Keluarga besar Jefri beserta kedua orang tuanya bercokol dalam sebuah rumah mewah di pesisir Pantai Sejarah.

Tempat itu memberikan panorama terbaik di wilayah Sumatra Utara, serta menghadirkan hewan-hewan yang lalu lalang di sekitar jalan menuju rumah. Sembari menunggu pemilik rumah yang menurut Diman—pembersih taman, bahwa bos mereka baru akan tiba beberapa jam ke depan.

Karena Jefri merasa sangat bosan, dia pun memainkan ponselnya di atas sofa. Sementara Siska—istrinya, sedari tadi keliling menelusuri tiap sudut rumah baru yang akan mereka beli dengan harga yang fantastis. Dalam sekelebat penglihatan, netranya tercengang dengan sebuah lukisan seorang wanita berbusana adat Jawa.

Lukisan itu seakan hidup jika dipandang secara saksama, mengenakan sanggul, dilengkapi dengan kebaya adat Jawa. Penampilan itu sudah jarang dijumpai pada acara-acara yang sering diadakan. Bahkan, resepsi pernikahan pun sudah mengenakan busana modern, atau kombinasi dengan jas dari luar negeri.

Akan tetapi, Siska yang saat itu tertegun mencoba untuk menyentuh wajah lukisan di hadapananya, menggunakan tangan kanan, dia mengusap kening yang terlihat sangat cantik dan anggun. Setelah telapak tangannya mendarat, kedua netra di lukisan itu bergerak dengan sendirinya.

"Astaga!" pekik Siska terkejut, posisi badannya pun mundur ke belakang dua langkah.

Sembari menetralisir suasana hati, dia pun tetap memandang lukisan aneh itu. Hiruk pikuk terdengar di dalam gambar tiga dimensi berbusana adat Jawa terpatri indah bersama portal bertuliskan 'Kamar 303' pada posisi samping kiri.

Suara kecipak menghadirkan gemetar sekujur tubuh, penglihatan pun tiba-tiba sejurus pada kamar mandi yang berada di pojok kamar. Lamat-lamat, Siska beringsut untuk mendekati sumber bunyi itu. Setibanya dia di depan pintu, tetesan air seakan semakin ganas.

Secara saksama, wanita berambut sepinggang itu mengernyit dan meletakkan daun telinganya. Sedikit demi sedikit, air yang keluar beringsut pergi. Karena sangat penasaran, Siska pun memasuki kamar mandi itu seraya celingukan.

Cermin berbentuk lingkaran terpatri di dinding ruangan, arloji berwarna hitam juga tersangkut pada portal pemberitahuan toilet wanita. Suara tangisan mendayu-dayu merasuki indra pendengarannya, akan tetapi entah dari mana sumber tangisan itu.

Selesai menatap cermin, Siska pun ingin berniat membuka tiap pintu kamar mandi yang berjumlah tiga dengan warna berbeda. Suara tangisan itu masih saja muncul dan semakin keras ketika dia mulai mendekati pintu-pintu tersebut.

Untuk mengawali penasarannya, pintu kamar mandi pun dia buka. Namun, di sana kosong dan tidak ada apa-apa. Lalu, Siska kembali membuka pintu nomor 2, netranya juga tak menemukan apa pun. Karena hanya tinggal 1 pintu yang belum dia buka, napas pun seakan terengah-engah ditimpali gemetar sekujur tubuh.

Lamat-lamat, Siska membuka pintu kamar mandi nomor 3. Namun, di ruangan minimalis itu tidak ada siapa pun. Sementara tangisan tetap hadir menyergap indra pendengarannya. Secara spontan, wanita berusia 26 tahun itu menatap plafon ruangan. Sosok bertubuh danawa berada di sana dengan menjulurkan lidahnya.

"Hantu ...!" teriaknya, kemudian Siska pun pingsan dalam kamar mandi.

Beberapa menit setelahnya, pemilik rumah pun datang melalui akses satu-satunya di ambang pintu, lelaki yang mengenakan jas berwarna cokelat itu membawa tas berwarna hitam. Senyum simpul dia lembar seraya tatapan tajam sejurus pada Jefri di atas sofa, kemudian lelaki berambut cepak itu mendudukkan badan.

"Selamat siang, Pak," sapa pemilik rumah seraya menyodorkan tangan kanannya untuk menjabat.

"Selamat siang juga, Pak," respons Jefri membalas jabatan tangan pemilik rumah itu.

Pengantin KutukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang