Hampir dua bulan Adit tanpa kabar. Tak ada pesan satu pun masuk ke ponsel gadis bernama Fyneen itu. Fyneen hanya menghembuskan napasnya sesak saat menatap ponselnya dan teringat segala hal tentang Adit.
Gadis itu kini bahkan sudah mulai menanamkan pada benaknya untuk jangan berharap besar pada kepulangan Adit kali ini. Kalau perlu anggap saja lelaki itu sudah meninggalkan dirinya.
Ada hal yang tanpa Adit ketahui sebelum lelaki itu pamit pergi. Mamanya Adit pernah menghubunginya. Seperti biasa memintanya meninggalkan Adit. Kali ini dengan ancaman akan merusak karir Fyneen jika ia tak menurutinya. Waktu itu Fyneen belum memberikan jawabannya ia hanya meminta pada wanita yang melahirkan Adit itu untuk jangan mengatakan pada kekasihnya jika mereka pernah bertemu.
Sejak kejadian di Hotel waktu itu. Rekan-rekan Fyneen seolah menutup mata apa yang terjadi pada gadis itu. Tak ada yang berani bertanya bahkan membuka pembicaraan tentang dokter yang kini telah menjadi Sp. B. Hanya dua orang yang berani bertanya pada gadis itu tentang Adit itupun hanya sepatah dua patah kata yang keluar dari bibir Fyneen.
"Fyn, mumpung sepi Mbak mau nanya. Kamu baik-baik aja?" Mbak April akhirnya mengeluarkan suaranya saat ia berdua saja di nurse station dengan Fyneen. Fyneen menatap rekannya itu lalu tersenyum. Mau senyum seperti apa pun April tahu senyumnya hanya di wajah saja tak sampai hati.
"Bohong kalau aku baik-baik aja, Mbak. Aku juga nggak tahu mau gimana nanti. Aku udah capek, Mbak. Kalau memang aku nggak bisa sama Mas Adit, aku berusaha ikhlas," ucap Fyneen.
"Nggak papa kalau nggak baik-baik aja lho. Kamu juga manusia. Nangis juga ndak papa, bagi masalahmu sama Mbak atau orang yang kamu percaya. Ingat Allah pasti punya takdir lain yang lebih indah buat kamu, Fyn. Jangan sungkan cerita ke Mbak, ya!" ujar perempuan bernama April itu.
Tangannya mengusap lembut tangan Fyneen. Fyneen hanya mengangguk tersenyum. Ia bersyukur masih ada yang peduli dengannya tanpa menuntut ia harus baik-baik saja.
***
Fyneen menghembuskan napasnya berat saat ia baru saja memarkirkan kendaraannya di rumah kontrakan miliknya. Sekelebat ingatan tentang ia dan Adit lewat begitu saja di ingatannya. Singkat namun membuat luka yang masih basah itu semakin perih.Fyneen baru saja meletakkan ponselnya saat suara mobil memasuki halaman rumah kontrakannya. Sebelumnya Adit mengatakan padanya untuk mampir setelah pulang dari rumah sakit. Gadis itu pun melangkah keluar untuk menyambut lelakinya.
"Katanya satu jam lagi, Mas?"
"Nggak mau aku datengnya cepet, Yang?" Adit keluar dari mobil SUV hitamnya seraya menenteng beberapa kantong.
"Loh, kok bawa jajanan? Katanya mau numpang makan?" Fyneen mengulurkan tangan bermaksud membantu Adit membawanya namun ditolak oleh sosok residen bedah itu.
"Cuma kopi doang sama martabak, Yang. Aku kayaknya numpang tidur deh, nanti jam sebelas malem ada operasi."
"Loh, kok ikut?"
"Biasa diminta DPJP*, tapi persiapan udah aku titipin ke junior."
"Cie yang mentang-mentang uda senior."
"Memanfaatkan yang ada, Yang. Makan yuk, udah mateng kan masakanmu? Aku taruh di meja makan aja," ajak Adit seraya meletakkan beberapa makanan yang ia bawa tadi di meja makan.
Fyneen mengangguk lalu berjalan menuju ke dapur untuk menyiapkan sayur dan lauk.
Gadis itu sedang memanasi sayurnya sebentar sebelum ia pindahkan ke mangkok sayur. Tiba-tiba sebuah tangan kekar milik Adit melingkari perut Fyneen. Gadis itu sempat terkejut lalu ia tersenyum lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
ROSC (Return Of Spontaneous Circulation)
Roman d'amour"Saat Kamu diberi kesempatan untuk kembali bernafas" Benarkah kesempatan kedua itu ada? Tara merasa seolah tak ada harapan ketika menyadari sakitnya yang bagi orang lain tampak sepele tapi berat baginya karena membuatnya susah mendapatkan pekerjaan...