Tensi rendah, Hb rendah membuat Tara harus rawat inap bahkan menerima transfusi darah. Pertama kalinya mendapatkan transfusi darah membuatnya meringis sebab rasanya selain dingin kala tetesan darah itu merasuk ke tubuhnya juga ngilu. Ia diminta agar tidak terlalu sering menggerakkan tangannya yang itu sedikit mustahil baginya sebab ia termasuk orang yang tak bisa diam dan gerah rasanya jika tidak bergerak. Dalam kondisi biasa saja terkadang darahnya naik ke selang infus akibat terlalu sering gerak terutama saat ke kamar mandi.
Tara juga sedikit takut menerima transfusi darah kala perawatnya mengatakan jika ia merasa gatal, kulitnya bentol apalagi sampai sesak napas harap segera lapor karena kemungkinan tubuhnya tidak bisa menerima darah tersebut. Tidak cocok, sekalipun golongan darahnya sama. Apa istilah medisnya? Benda asing yang masuk ke tubuh seseorang?
Selama ini ia kira jika seseorang mendapat transfusi darah dari golongan yang sama urusannya sudah selesai. Ternyata rumit. Belum lagi jika tidak cocok, satu kantong daraah langsung dibuang. Sungguh sehat itu mahal harganya.
Tara yang menerima dua kantong darah bersyukur, darah yang masuk ke tubuhnya cocok sehingga tidak ada efek samping. Namun, ia sempat khawatir kala di kantong kedua yang diterimanya, ia merasa wajahnya gatal-gatal. Saat lapor ke perawat, lalu ia disarankan untuk cuci muka dulu karena mungkin kotoran yang menempel akibat berbaring terus dan cuci muka seadanya. Ternyata benar, rasa gatal bukan akibat transfusi tetapi karena wajah yang kotor.
Donna yang menunggunya yang membantu membersihkan dengan sabun wajah miliknya yang kebetulan selalu dibawa ke man pun.
"Tadi siapa yang jagain kamu, Dek?" tanya Donna sambil mengupas apel yang tadi dibawakan oleh Ina yang kini sudah pulang duluan. Hanya dirinya yang menginap di rumah sakit.
"Nggak kenal." Tara mengangkat kedua bahunya karena begitulah adanya.
"Lah, tapi katanya pernah ketemu kamu pas pingsan di hotel dulu?"
"Katanya gitu. Jadi nggak enak juga, dianya harusnya jagain temannya eh malah jagain aku," kata Tara sembari menghela napas dalam.
"Oh ya?"
Tara mengangguk.
Dari semua hal, yang diingat Tara adalah sosok Bagas yang meski tampak ramah tapi ada ketegasan di sana. Sikap tubuhnya juga ia rasa tak biasa padahal jika dilihat berapa kali pun tak ada yang aneh juga. Tapi itulah yang dirasakan olehnya.
"Temannya opname juga?" tanya Donna lagi memecah lamunan Tara sambil menyerahkan sepotong apel.
"Enggak tahu deh. Coba tanya Bude yang sempat ketemu dan ngobrol sama dia dan temannya," jawab Tara lalu menggigit sepotong apel di tangannya.
Donna mengangguk. "Padahal kalau tahu, aku mau jenguk juga deh. Besoklah tanya Ibu."
Tara memakan apelnya seraya pikirannya kembali melayang ketika ia masih di IGD. Bagas bahkan tak tampak marah jika mengingat ia pernah sangat keras kepala agar tidak dibantu lelaki itu saking takutnya terjadi hal yang tidak diinginkan seperti pelecehan seksual, perampokan atau penculikan misalnya.
"Mbak Tara mungkin lebih baik ke mana-mana jangan sendirian," komentar Bagas setelah dokter yang menangani Tara kembali ke nurse station. "Untungnya yang kedua ini pingsannya di rumah sakit."
Tara menatap Bagas sedikit datar dan dingin karena menurutnya lelaki itu agak sok tahu. "Nggak ada orang yang ingin sakit. Memangnya saya tahu kalau bakalan pingsan? Kalau sakit saya disengaja, pura-pura dong namanya!" desisnya.
Bagas menggaruk belakang kepalanya yang jelas tidak gatal itu. Salah tingkah.
"Saya nggak pernah mimpi dan berencana untuk pingsan."
"Maaf, bukan gitu maksudnya---"
Saat Bagas hendak membuka mulut, Ina datang. Keduanya berbicara terkait kondisi Tara dan kronologisnya lalu saat pamit menuju bed di mana rekan Bagas berada, Ina ikut.
🍩🍩🍩
Tara hanya tinggal tiga hari di rumah sakit. Kemudian saat harus kontrol pasca opname, ia diantarkan oleh Ina. Lalu, pada minggu berikutnya Tara ke rumah sakit lagi kali ini ke poli gigi, diantarkan oleh Donna. Sebelumnya mengambil hasil foto panoramic atau Rontgen gigi. Hasilnya gigi bungsunya kanan dan kiri tumbuh secara horizontal yang akhirnya membuat celah dengan gigi lain dan itulah yang kerap mengganggunya. Sering bengkak bergantian.
Akhirnya diputuskan untuk mencabutnya melalui prosedur operasi. Sebelum pulang ia diminta foto thorax juga tes darah dan kembali minggu depan.
"Mau operasi gigi aja harus foto thorax, buat apaan deh?" gumam Tara sembari antre di lab.
"Iya ya?" sahut Donna menyetujui karena sesama orang awam.
Antrean cukup panjang sampai akhirnya nama Tara dipanggil. Selesai diambil darahnya, Tara dan Donna pindah ke radiologi di mana antrean juga panjang.
Keduanya baru meninggalkan rumah sakit lewat Zuhur. Untuk hasilnya akan diambil saat akan kontrol berikutnya agar tidak perlu menunggu terlalu lama. Apalagi Tara pasti merasa kepayahan jika harus duduk diam selama dua sampai tiga jam menunggu hasil lab dan foto keluar.
Sampai di rumah, Donna hanya menurunkan sepupunya di teras sedangkan ia langsung menuju gerai. Tara sendiri berjalan gontai menuju kamarnya. Perasaannya campur aduk karena kembali harus berkutat dengan rumah sakit dan obat lagi. Ia kira prosedur operasi itu cepat, pikirnya begitu dokter bilang operasi dan dirinya sebagai pasien sudah setuju, langsung menentukan tanggal. Nyatanya?
Tara segera ganti baju lalu salat Zuhur. Setelahnya baru ia ke dapur untuk mengambil makan siang.
Sambil makan, Tara teringat cerita seseorang yang juga operasi gigi. Orang tersebut ditanya apa gunanya operasi gigi? Selama masih baik-baik saja buat apa?
Sepele mungkin bagi orang lain tapi tidak bagi yang bersangkutan. Seringnya saat ini memang lebih banyak orang-orang sok tahu yang merasa benar sendiri.
Terkadang Tara lelah menghadapi orang-orang seperti itu di mana tanpa mereka sadari turut andil membuatnya stres. Tetapi, percuma saja bukan menjelaskan jika mereka sudah kekeh dengan apa yang dipercayai?
Siapa yang tidak ingin sehat? Siapa yang suka harus pingsan berkali-kali?
"Hmm, apa aku bisa dapat jodoh ya dengan kondisi begini? Nanti kalau aku baringan terus padahal nggak kelihatan pucat, suara masih normal dikira malas maunya baringan terus? Repot dah kalau mertua dan ipar mikir kayak gitu," gumam Tara sembari menerawang nasibnya sendiri.
Ia tidak tahu bagaimana para dokter dan perawat melihatnya jika sedang kambuh tetapi ia merasa bahwa dirinya tidak pucat. Keluhannya hanya lemas dan tidak kuat berdiri lama. Jika hanya bergerak dari kamar ke kamar mandi, ia masih kuat. Akibatnya, banyak yang mengira dirinya baik-baik saja. Dan yang lebih parah, dulu, dikatakan berpura-pura.
"Hhh, di mana ada cowok penyabar yang keluarganya juga penyabar bisa menerima kondisiku?" keluh Tara tepat kala piringnya kosong.
Usai makan, segera ia cuci piringnya lalu istirahat. Badannya rasanya capek sekali.
🍩🍩🍩
Assalamu'alaikum, part pertama Tara di 2022.
Berbeda dengan Fyneen yang kisah hidupnya bak roller coaster, Tara justru cenderung flat. Keduanya sama-sama berusaha menggapai kebahagiaan dengan caranya masing-masing. Yok, ikuti terus yak biar tahu akhir kisahnya bagaimana 😎😎😎
Sidoarjo, 08 Januari 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
ROSC (Return Of Spontaneous Circulation)
Romance"Saat Kamu diberi kesempatan untuk kembali bernafas" Benarkah kesempatan kedua itu ada? Tara merasa seolah tak ada harapan ketika menyadari sakitnya yang bagi orang lain tampak sepele tapi berat baginya karena membuatnya susah mendapatkan pekerjaan...