Karena tirai tebal tidak ditutup, sehingga mentari bisa langsung menyusup untuk menyapa Tara, di mana selimut tebal tidak menghalanginya untuk terus bergelung. Perlahan ia membuka matanya, mematikan AC lalu berguling kanan-kiri. Rasanya malas sekali untuk beranjak.
Jika tak ingat ia ada wawancara pekerjaan, pasti ia lebih suka bergelung dibalik selimut mengingat badannya terasa berat. Dengan enggan Tara menyeret tubuhnya turun dari tempat tidur menuju kamar mandi. Ia bersyukur karena ada shower yang bisa diatur suhunya.
Usai mandi, segera Tara ganti baju dan bersiap ke sekolah. Rambut cokelatnya cukup diikat ekor kuda saja. Ia beruntung yayasan pemilik sekolah mengizinkan pegawainya mengecat rambut selama tidak mencolok dan berbaju sopan sebab berbasis internasional. Jika tidak, pilihan terakhir adalah menggunakan hijab karena ia tak mau mengecat rambutnya menjadi hitam, ia akan membiarkannya hitam sendiri.
Setelah rapi dengan setelan blazer dan celana panjang, ia pun beranjak dari duduknya di depan meja rias, lalu meninggalkan kamar. Baru saja membuka pintu hendak ke ruang makan, pundaknya terasa berat dan badannya terasa melayang.
"Dek! Dek Tara!" teriak Bella panik. Ia baru saja dari depan untuk memanaskan mesin mobil dan ketika masuk malah menemukan sepupunya tak sadarkan diri di tengah pintu kamar.
Bella berlari cepat untuk melihat keadaan Tara yang ternyata badannya panas.
"Lho, Mbak?" Donna yang baru turun tangga pun segera melesat. "Kita bawa ke rumah sakit aja! Ayah, Ibu, Dek Tara pingsan!" teriaknya.
"Ayok diangkat aja, sudah kuduga bakal gini," sahut Bella, ia melemparkan kunci mobil yang tadi ia geletakkan di lantai ke adiknya. "Kamu siapin mobilnya aja biar aku yang angkat."
Bella yang memang karateka, tak hanya sekedar tomboy, masih mampu mengangkat tubuh sepupunya yang tengah tak sadarkan diri itu.
"Lho, lho, itu adekmu kenapa? Ya sudah, Ibu ambilkan tasnya dulu sama tas Ibu nanti nyusul kalian ke rumah sakit."
Segera Bella menyusul Donna yang sudah membuka pintu mobilnya. Ia letakkan tubuh lunglai Tara lalu ikut masuk dan keduanya pun meluncur ke rumah sakit.
Keduanya tahu jika Tara sering pingsan tapi belum tahu sakit apa. Itu salah satu penyebab sepupunya sulit mendapatkan pekerjaan. Semua orang bahkan Tara sendiri mengira kondisinya sudah membaik sehingga mencoba mencari peruntungan di Semarang.
"Sebetulnya Dek Tara sakit apa sih?" gumam Donna dari balik setir dan berusaha secepatnya membawa ke rumah sakit. "Suka gitu deh. Kadang nggak kelihatan pucat juga tahu-tahu pingsan."
"Nggak paham juga aku," sahut Bella sambil memeluk erat sepupunya.
Entah karena hari masih pagi atau Tuhan berbaik hati, mereka bisa tiba selamat dan cepat di rumah sakit. Donna berhenti di lobby IGD. Security mendatangi mereka, lalu Bella pun meminta brankar. Setelahnya security kembali membawa brankar beserta salah satu perawat. Tara dibawa masuk ke IGD dengan diikuti Bella.
Sementara Bella menemani sepupunya, Donna mencari tempat parkir. Dari spion tampak ibunya turun dari mobil dengan tergesa-gesa menuju IGD lalu ayahnya menyusulnya untuk parkir mobil juga.
🥯🥯🥯
Tara berkedip beberapa kali lalu membuka kedua matanya lebih lebar. Ia melirik sekeliling, ternyata tempat yang sangat ia kenali termasuk baunya yang khas.
"Sudah bangun?"
Tara menoleh, budenya setia mendampingi.
"Tensimu rendah. Ini masih nunggu hasil lab," kata Ina.
Tara hanya bisa menghela napasnya. "Maaf, Bude."
"Masih sering kambuh?" tanya Ina tanpa ada nada marah sedikitpun.
Tara menggeleng. "Nggak. Makanya aku pede datang ke Semarang."
Saat Ina hendak membuka mulut, seseorang dengan baju scrub abu-abu datang mendekat untuk melakukan pengkajian tak lama seseorang yang lain berbaju scrub warna biru muda datang.
Ina dan Tara kurang memahami perbedaan warna seragam tersebut, yang keduanya pahami hanyalah dua orang tersebut dokter. Bukan perawat. Kemudian keduanya masih harus menunggu kembali hasil pastinya.
Tara seolah merasa sudah terlalu lama di IGD sebab badannya terasa lebih capek dari sebelumnya dan bosan. Ia hafal betul sebab IGD bukanlah tempat yang asing baginya. Beberapa tahun lalu ia sering keluar masuk IGD karena sakit yang sama.
Pemandangan di mana banyak tenaga medis berlalu lalang di tengah rintihan pasien tak pernah berubah. Bagai menonton TV series ER atau emergency room. Harus punya banyak stok sabar juga.
Agar tidak stres sendiri, matanya pun menjelajahi seluruh area di ruangan hingga berhenti di satu titik. Nurse station yang berada di tengah-tengah. Ada yang menarik perhatiannya bagai sebuah oase di tengah kebosanan menunggu nasibnya apakah bisa pulang rawat jalan atau opname.
Oase segar itu bukanlah pendingin ruangan atau air mancur yang didesain khusus melainkan sosok lelaki yang menurutnya seorang dokter sebab berbaju scrub tetapi kali ini berwarna biru tua.
Di sepanjang ingatan Tara, di rumah sakit mana pun, semua tenaga medis di IGD menurutnya tampak selalu segar. Seolah tak pernah ada lelahnya padahal ia tahu betapa lelahnya mereka sebetulnya. Begitu pun lelaki muda meski tampak jauh lebih tua dari usianya tampak segar seperti iklan sabun mandi. Seketika kebosanannya menguap begitu saja.
Kenapa ya paling susah cari jodoh dokter? Rasanya mereka itu spesies paling langka deh. Sudah dokter, ganteng pula! batin Tara berangan-angan. Apalagi kalau kayak dokter itu, hmm ...
"Bude ambil minum dulu ya di Mbakmu," pamit Ina.
Tara mengangguk. "Ponselku juga tolong, Bude."
"Ya." Ina pun segera keluar.
Tara melirik botol infusnya yang masih banyak, tentu saja karena baru dipasang beberapa waktu lalu.
"Semoga nggak sampai opname," gumamnya.
Lalu matanya kembali menjelajahi seluruh ruangan, meski ada beberapa yang layak buat cuci mata tapi yang paling menyegarkan mata hanya satu orang itu.
"Ini ponselmu." Tiba-tiba Ina datang sambil menyodorkan ponsel Tara.
"Makasih, Bude." Setelah menerima, Tara segera menyalakan fitur kamera dan menunggu saat yang tepat untuk memotret sang dokter secara diam-diam. Pasalnya yang bersangkutan seperti merasa tengah diamati karena beberapa kali tampak mendongak mencari tahu sesuatu.
Dengan tangan yang bebas dari infus, Tara menutup mulutnya sambil tersenyum. Ia merasa seperti tengah melakukan tindak kejahatan. Pertama, memotret di rumah sakit yang ia ingat dilarang memotret dan kedua, memotret seseorang diam-diam padahal belum tentu masih jomblo.
Hanya saja nafsu lebih menguasai daripada logika.
Meski sudah puas dengan beberapa gambar yang diambil tapi ternyata lebih memuaskan menatap langsung dan mengamati setiap gerak geriknya yang membuat lelaki berlabel dokter itu berkali lipat lebih ganteng. Dan saat seperti itu, seluruh ruangan terasa tampak kabur kecuali sang dokter.
"Tapi ... itu kenapa semua pada godain ya? Dapat lotere atau ... masa sih?" gumam Tara menepis pikirannya bahwa dokter ganteng itu sudah ada yang punya mengingat sepengamatannya tak ada cincin kawin di jari manis.
Tapi ... ekspresi tersipu malu itu menunjukkan seperti ...
🍩🍩🍩
Ketemu lagi kita, ada yang bisa menebak jalan ceritanya? Apakah bakal mainstream? 😏
Sidoarjo, 11/10/2021
KAMU SEDANG MEMBACA
ROSC (Return Of Spontaneous Circulation)
Romansa"Saat Kamu diberi kesempatan untuk kembali bernafas" Benarkah kesempatan kedua itu ada? Tara merasa seolah tak ada harapan ketika menyadari sakitnya yang bagi orang lain tampak sepele tapi berat baginya karena membuatnya susah mendapatkan pekerjaan...